Sejak menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tahun 2014 lalu, Puan Maharani Nakshatra Kusyala sering mengajak saya mengadakan perjalanan di berbagai tempat di Indonesia ini, dan sekali ke Tiongkok.
Dari wilayah paling barat, Kepulauan Mentawai, sampai Kaimana di Irian, saya melihat Puan melakukan kunjungan kerja sebagai menteri.
Dalam perjalanan darat, bila tiba jam makan, kami berhenti di warung-warung. Dalam perjalanan ini kami sering mengadakan pembicaraan.
Setiap kami bicara soal partai politik dengan segala macam pertentangan idiologinya, Puan sering mengatakan, “Bagaimana pun kita adalah sesama bangsa Indonesia.”
Lebih dari itu, kata Puan, kita adalah sesama manusia.
Dalam acara resmi di muka massa, dia sering bicara tentang persatuan dan kesatuan bangsa, terutama ketika di Papua.
Di tempat lain, dia sering bicara soal, “sotil” (bahasa Jawa, alat untuk menggoreng makanan).
Dalam kunjungan kerja di Tiongkok selama satu minggu (Akhir Juli sampai awal Agustus 2016), Puan Maharani banyak dipandang sebagai cucu seorang proklamator Republik Indonesia yang bersahabat dengan Tiongkok.
Secara protokoler, Puan mendapat perhatian cukup istimewa.
Tapi suatu kali, rombongan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ini naik ke tingkat lima lewat tangga (bukan lift), tiba-tiba Puan mendekati saya dengan wajah ketakutan dan bertanya dengan suara terbata-bata.
“Pak Osdar nggak papa ya?” Tanyanya pada saya.
“Lho wajahnya kok jadi pucat dan baju basah. Tidak kesakitan karena naik tangga ini ya?”
Langsung saya jawab, “Saya oke oke saja kok.”
Menko yang berusia 42 tahun saat itu langsung minta kepada salah satu asistennya, Siti Nurhaza untuk membeli baju untuk mengganti baju saya yang basah kuyup. Ini sebuah kenangan.
Setiap selesai mengadakan perjalanan seperti ini, sering Puan bertanya pada saya, bagaimana tanggapan orang tentang perjalanan-perjalanan tersebut, dan saya mengatakan “cukup bagus.” “
"Akh jangan-jangan banyak yang bilang, saya ini masih anak kecil,” kata canda Puan setiap kali saya mengatakan banyak tanggan baik terhadap kinerjanya.
”Sering lho saya dengar orang mengatakan saya ini ini ndoro putri. Padahal kan saya sering kerja membanting tulang keliling Indonesia meninggalkan anak dan suami demi untuk bangsa ini, “ujarnya beberapa kali pada saya.
Ihwal tentang “ndoro putri” pernah saya tulis dalam buku saya berjudul “Sisi Lain Istana jilid III SARUNG JOKOWI DAN WAK, WAK, WAK” (Penerbita Buku Kompas).
Beberapa bulan setelah pulang di Indonesia, kebetulan saya bertemiu dengan Presiden ke-5 RI atau Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (atau PDI Perjuangan) Megawati Soekarnoputri.
Untuk catatan kecil, Megawati sering mengatakan tidak suka PDI Perjuangan disingkat PDI-P.
Kembali pertemuan saya dalam acara makan malam bersama beberapa teman wartawan lainnya yang diadakan Megawati.
Ketua Umum PDI Perjuangan yang kebetulan mamanya Puan bertanya pada saya, “Bagaimana kinerja Puan dalam perjalanan perjalanan kerja?”
Cepat saya menjawab, “cukup bagus”.
“Cukup bagus bagaimana, tidak jelas jawabannya," sergah Megga.
"Oh ya Bu Mega, selama di Tiongkok, banyak orang di toko-toko atau di mal-mal, kenal Mbak Puan bukan hanya seorang menteri tapi juga cucu Bung Karno," jawab saya.
“Mbak Puan dalam pidato-pidato resmi di Tiongkok banyak menawarkan kerjasama soal mengelola sungai-sungai bersih di Indonesia bersih, pariwisata dan kesenian,” kata saya lagi.