Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Kebohongan Mulia

Kompas.com - 25/07/2019, 18:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM tiga tahun terakhir, setidaknya rakyat Inggris menerima dua hadiah kejutan. Pertama, Juni 2016, saat referendum Brexit memenangkan opsi "leave". Kedua, terpilihnya Boris Johnson, "politikus Brexit"--yang membedakan antara kondom dan pisang saja tak mampu-- sebagai perdana menteri negeri tersebut.

Sejak sukses sebagai salah satu tokoh terdepan Brexit, dalam tiga tahun terakhir Boris lebih dikenal publik Inggris dengan tingkah dan citra kontroversi, jenaka, dan pernyataan konyolnya. Tentu, yang paling melegenda adalah soal kondom dan pisang.

Media-media Inggris pun banyak yang mengecamnya. The Guardian, media yang dianggap progresif di negara itu, dengan sinis menyatakan dalam salah satu artikelnya, "Seorang lelaki yang bahkan tak mampu bernegosiasi dengan telapak tangannya sendiri untuk bertepuk tangan dengan benar, bisa dipilih jadi pemimpin."

Di samping itu, Boris juga lekat dengan citra xenophobik, arogan, sinis, dan pemujaan akan supremasi kultur Inggrisnya.

Boris semakin menjadi bulan-bulanan saat banyak pakar, media, dan politikus menyuarakan kekhawatiran dampak Brexit. Terutama oleh kemungkinan bahwa, tanpa Uni Eropa, Inggris akan terkucil dalam perdagangan regional dan internasional karena tak memiliki perjanjian perdagangan. Sementara, pelabuhan dan bandara akan diblokir.

Secara otomatis, suplai makanan dan obat-obatan impor akan menipis. Brexit juga disinyalir mendorong meningkatnya tindak kriminalitas bernuansa sektarian di kota-kota besar di negara tersebut.

Namun, serangan, opini miring, tekanan publik dan media tersebut ternyata tak beriringan dengan pilihan hati banyak orang Inggris. Hasil polling oleh lembaga Ipsos-Mori mendapati hasil yang sangat mencengangkan.

Boris Johnson yang sangat lekat dengan Brexit itu justru mendapat rating personalitas sangat tinggi dibanding para mantan pemimpin Inggris, seperti John Major, Margareth Tatcher, Theresia May, Tony Blair, maupun David Cameron. Dan, benar saja, dia akhirnya terpilih sebagai perdana menteri.

Pertanyaannya, bagaimana bisa? Apakah rakyat Inggris sudah sedemikian terperangkap dalam pascakebenaran?

Ketika rakyat Inggris akhirnya memenangkan opsi "leave" dalam Brexit, hampir semua akademisi di Inggris mengkritik pilihan tersebut.

Dengan argumen-argumen muram, mereka menyisipkan bayangan betapa menakutkannya dampak dari pilihan itu. Hanya segelintir akademisi yang berani berpendapat berbeda.

Roger Scruton adalah satu dari segilintir akademisi tersebut. Baginya, akademisi dan politisi Inggris banyak yang salah berhitung tentang voting Brexit bagi rakyat Inggris.

Voting tersebut bukanlah tentang ekonomi, melainkan tentang identitas. Dan, orang memberikan suara sebagai bagian dari kelompok besar karena Parlemen telah menolak mendiskusikan hal prinsip atas keanggotaan Inggris di Uni Eropa.

Ini bukanlah sebuah wujud pascakebenaran, tetapi sebuah sikap dan kemarahan yang ditunjukkan rakyat Inggris kepada para politisi yang selama ini meninggalkan dan membohongi mereka.

Kaum elite seperti John Major, Theresia May, Tony Blair, dan para akademisi perguruan tertinggi ternama Inggris, dengan segala argumen dan gestur elegan selalu membicarakan betapa pentingnya integrasi ekonomi Eropa bagi Inggris.

Mereka secara serius menghendaki publik untuk memercayai sebagaimana mereka memercayai apa yang mereka anggap salah.

Kenyataannya, argumen-argumen tersebut tak pernah benar-benar menyentuh hal terdalam harapan dan ketakutan banyak orang Inggris yang konservatif: ancaman tergadainya kedaulatan negara, kian banyaknya kaum imigran, ketakutan mereka akan berkembangnya homoseksualitas, dan kenaikan biaya hidup yang ternyata tak serta merta teratasi oleh argumen-argumen integrasi ekonomi Eropa.

Lalu, datanglah politikus-politikus yang mereka anggap "memahami" kegelisahan terpendam itu. Boris Johnson adalah satu di antara politikus terkemuka yang menangkap "pesan" tersebut.

Saat referendum Brexit terjadi, maka politikus semacam Boris tinggal memencet tombol "klik" untuk memenangkan perjuangan politik sekaligus merebut simpati publik.

Tekanan dan pemberitaan miring terhadapnya justru makin mencuatkan popularitas dan dukungan publik terhadap Boris. Terutama oleh satu hal, para politisi, akademisi, dan media yang menyerang tersebut "berbeda frekuensi" dengan hati dan harapan banyak orang Inggris.

Hasil polling Ipsos-Mori juga mendapati, mengapa banyak kalangan tetap memilih dan menyukai Boris daripada calon lain.

Pertama, Boris lucu, menghibur, dan dianggap seperti orang kebanyakan. Berbeda dengan pemimpin kenamaan Inggris sebelumnya yang elegan dan elitis yang mereka anggap berjarak.

Kedua, meskipun mereka menyadari ada ada kebohongan-kebohongan dari pernyataan-pernyataan Boris, banyak rakyat Inggris yang beranggapan, mantan jurnalis tersebut masih relatif lebih jujur daripada politikus lain yang pandai berbohong "secara mulia".

Artinya, sebagaimana di Indonesia, pola pikir minus malum, atau terbaik di antara yang terburuk pun juga hadir dalam politik Inggris.

Ketiga, dengan segala kontroversinya, sayangnya dia yang secara terang-terangan konsisten berbicara mengenai kedaulatan Inggris, ancaman masuknya imigran, dan hal-hal terpendam lainnya, yang selama ini secara takut-takut dan malu-malu disuarakan warga Inggris yang konservatif di tengah wacana demokrasi yang dipenuhi norma-norma baku atas nama kesetaraan, toleransi, integrasi Eropa.

Apa yang terjadi di Inggris sesungguhnya belakangan juga terjadi di banyak negara. Donald Trump di Amerika Serikat tentu contoh yang sulit disangkal.

Meskipun rakyat AS tahu bahwa 70 persen penyataan Trump di media dan media sosial telah dibuktikan salah atau ngawur, namun popularitasnya tetap tinggi.

Bahkan, meski setiap hari menulis twit hal-hal yang tidak penting dan kerap kali kontraproduktif, kebijakan-kebijakan ekonomi Trump tetap mendapat dukungan publik relatif tinggi. Kebijakan terkait konflik dagang dengan China, misalnya.

Bahkan, hasil polling Fox News 24 Juli 2019 menunjukkan, popularitas Trump menanjak menjadi 52 persen, lebih tinggi daripada polling Mei 2019 yang sekitar 48 persen.

Benar, bahwa di samping pernyataannya yang kontroversial, Trump juga kerap muncul dalam wujud dan kata-kata yang menampakkan dirinya xenophobik, rasialis, megalomaniak, bahkan seksis.

Namun, hal-hal itu sesungguhnya mewakili ketakutan terpendam dalam alam bawah sadar banyak warga kulit putih di AS.

Trump sebagaimana Boris, mampu menunjukkan bahwa dengan segala kontroversi negatif, mereka secara diam-diam menyentuh hal yang selama ini terpendam, malu-malu untuk diungkapkan, memanfaatkannya, dan menarik keuntungan yang besar dari isu itu meski berbohong sekalipun.

Situasi inilah yang membuat beberapa waktu terakhir banyak akademisi di Barat mulai meragukan keabsahan pascakebenaran sebagai sebuah postulat untuk menjelaskan fenomena pemilih fanatik yang terkesan delusional.

Keraguan yang terangkum dalam pertanyaan, "Apakah memilih dengan hati adalah kebodohan dan harus dianggap sebagai pascakebenaran?"

Politik pascapemilu

Menengok ke perkembangan politik di Indonesia pascapemilu, apakah hal yang sama juga berlaku?

Situasi politik di Indonesia sesungguhnya relatif lebih rumit dengan apa yang terjadi di Inggris maupun AS.

Sebab, ada dua kubu sangat fanatik yang terbelah di mana masing-masing memiliki mimpi, harapan, kekecewaan, sekaligus ketakutan fundamental yang terpendam dan mendasari perjuangan politik masing-masing.

Hal ini yang membuat meskipun ada komposisi petahana-penantang, kedua belah pihak terlihat sebagai penantang.

Satu pihak memendam ketakutan akan berkuasanya kekuatan Islam fundamentalis, kerinduan akan watak nasionalisme masa lalu, dan adanya kejengahan dengan kuatnya warna Islam dalam politik nasional.

Pihak yang lain menyimpan ketakutan akan sekularisasi yang mengancam eksistensi Islam dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Secara tidak langsung, kedua politikus yang terlibat dalam tarung dalam Pemilu 2019 memperoleh berkah besar dari sentimen-sentimen terpendam tersebut.

Kita sudah tahu hasil Pemilu 2019. Saya tak akan membahas hal tersebut.

Yang sulit disangkal, Pemilu 2019 sarat dengan tarung fanatisme dan tafsiran-tafsiran politik yang jauh melebihi fakta politiknya yang sesungguhnya sangat pragmatis.

Oleh karena itu, hal yang lebih menarik menurut hemat saya saat ini adalah apakah fanatisme dua kubu tersebut masih akan bertahan menyusul mencairnya hubungan politik Joko Widodo-Prabowo Subianto dan elite-elite pendukung kedua kubu belakangan yang menampakkan betapa politik elite di Indonesia sesungguhnya pragmatis belaka?

Merujuk apa yang terjadi pada Boris Johnson, sesungguhnya fanatisme politik dewasa ini bukanlah merujuk kepada satu sosok atau personal orang, melainkan pada ketakutan-ketakutan yang sudah mengakar dan terpendam dalam benak bawah sadar sebagian publik.

Artinya, fanatisme politik bukan hal yang serta-merta mudah dihapus oleh satu dua pernyataan, tekanan, maupun pencairan hubungan politik elite yang pragmatis.

Ada beberapa faktor. Pertama, kegagalan demi kegagalan pemerintah dan kaum elite pada masa-masa sebelumnya dalam menyelesaikan dan menegosiasikan secara tuntas persoalan-persoalan fundamental kebangsaan, seperti hubungan antarumat beragama, tragedi politik masa lalu, hubungan antaretnis, pendatang versus pribumi, ketimpangan ekonomi, dan problem kedaulatan negara.

Akibatnya, seiring dinamika politik yang berubah, hal-hal terpendam tersebut akan menentukan momentumnya untuk meluap ke permukaan.

Hal ini terjadi di Inggris saat momen Brexit datang, di AS saat sosok seperti Trump hadir, dan di Indonesia saat pembelahan politik yang penuh antagonisme terjadi sejak 2014.

Kedua, seturut kemajuan teknologi informasi, kemampuan dan daya imajinasi politisi semakin canggih dalam mempengaruhi dan mengambil simpati publik. Pun, begitu dengan dusta politik.

Ketidakjujuran kian mudah disamarkan di balik lalu lintas informasi, disinformasi, hoaks, jargon, newspeak, dan propaganda, yang makin halus, masif, hingga nyaris tak tersadari.

Posisi mereka semakin kuat kala pada saat bersamaan memiliki sumber daya yang besar dalam mengakses media dan merebut tarung wacana di media sosial.

Dalam posisi demikian, setiap langkah politik yang kontroversial dan bertentangan dengan imajinasi atau harapan publik, dengan mudah dapat "diluruskan" atau menjadi seolah-olah lurus, melalui tangan buzzer, intelektual demagog, maupun media partisan.

Dengan begitu, kontroversi politik yang kontrapoduktif tak akan mengikis banyak dukungan fanatik publik.

Hal ini seturut dengan pandangan Plato yang meyakini bahwa kebenaran merupakan tujuan dari filsafat dan juga standar utama kedisiplinan jiwa.

Meski begitu, dia menyadari, sesungguhnya kejujuran sangat sulit diwujudkan sepenuhnya oleh manusia, terlebih dalam politik.

Oleh karenanya, tentang politik, dia cenderung realistik, bahwa pemerintahan yang damai sangat tergantung sejauhmana kebohongan mulia bisa diproduksi.

Ketiga, seiring waktu, fanatisme politik yang terus beradu secara antagonistik, telah membentuk perilaku dan kecenderungan baru dari publik pendukung, yaitu obsesi akan pembenaran atas obyek yang mereka dukung.

Mereka lebih mudah menerima setiap alasan yang muncul di publik, apa pun itu, yang dapat membenarkan langkah politik kontroversial idola politik yang didukungnya, dan di pihak lain dapat mempermalukan kubu yang mereka anggap lawan. Meskipun alasan tersebut belum tentu benar, tak terukur, dan tak terverifikasi secara faktual.

Obsesi akan pembenaran ini mirip dengan kasus kecanduan pada manusia modern terhadap telepon seluler, ataupun narkotika.

Ada dorongan otomatis dari korteks prefrontal otak untuk mendapatkan kenikmatan dari obsesi akan keberpihakan sehingga menimbulkan dorongan perilaku yang berulang.

Seperti kita ketahui, korteks prefrontal adalah salah satu bagian terprimitif dari otak manusia, yang tumbuh dan berevolusi sejak berjuta-juta tahun. Sementara, kemampuan otak manusia untuk menahan godaan dari kecanduan baru berkembang sejak 200.000 tahun yang lalu.

Prefrontal korteks ini adalah bagian dari korteks serebral milik lobus frontal. Ini dianggap sebagai area hubungan multimoda karena ia mengoordinasikan informasi dari area otak lain.

Ini adalah area otak besar dengan sangat penting untuk menjelaskan perilaku, kepribadian, emosional, kemasyarakatan, dan bahkan kemampuan kognitif. Di sinilah, hoaks, fakenews, dan disinformasi, dan "kebohongan mulia" kerap dapat menemukan arena terbaiknya.

Keempat, fanatisme politik sesungguhnya bukan kepada sosok, melainkan kepada imajinasi dan ketakutan publik pendukung terhadap hal-hal terpendam.

Artinya, rekonsiliasi politik atau apapun namanya, antara kubu Jokowi-Prabowo beserta barisan elite di sekelilingnya, tak serta-merta akan menghentikan fanatisme barisan pendukungnya, selama ada tokoh lain yang dapat hadir sebagai simbol fanatisme baru.

Dan, inilah yang mungkin bakal terjadi dalam lima tahun ke depan politik di negeri ini.

Saya hanya ingin mengatakan, fanatisme politik sesungguhnya bukan hal haram dalam kehidupan bernegara.

Dalam beberapa hal tertentu justru dibutuhkan, terutama sebagai energi perjuangan nilai-nilai politik yang baik bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun, fanatisme yang berlebihan jelas buruk karena menjauhkan kita dari pilihan politik yang rasional, dan dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang hanya pandai menelikung publik dengan kebohongan-kebohongan mulia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com