Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Kebohongan Mulia

Kompas.com - 25/07/2019, 18:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketiga, dengan segala kontroversinya, sayangnya dia yang secara terang-terangan konsisten berbicara mengenai kedaulatan Inggris, ancaman masuknya imigran, dan hal-hal terpendam lainnya, yang selama ini secara takut-takut dan malu-malu disuarakan warga Inggris yang konservatif di tengah wacana demokrasi yang dipenuhi norma-norma baku atas nama kesetaraan, toleransi, integrasi Eropa.

Apa yang terjadi di Inggris sesungguhnya belakangan juga terjadi di banyak negara. Donald Trump di Amerika Serikat tentu contoh yang sulit disangkal.

Meskipun rakyat AS tahu bahwa 70 persen penyataan Trump di media dan media sosial telah dibuktikan salah atau ngawur, namun popularitasnya tetap tinggi.

Bahkan, meski setiap hari menulis twit hal-hal yang tidak penting dan kerap kali kontraproduktif, kebijakan-kebijakan ekonomi Trump tetap mendapat dukungan publik relatif tinggi. Kebijakan terkait konflik dagang dengan China, misalnya.

Bahkan, hasil polling Fox News 24 Juli 2019 menunjukkan, popularitas Trump menanjak menjadi 52 persen, lebih tinggi daripada polling Mei 2019 yang sekitar 48 persen.

Benar, bahwa di samping pernyataannya yang kontroversial, Trump juga kerap muncul dalam wujud dan kata-kata yang menampakkan dirinya xenophobik, rasialis, megalomaniak, bahkan seksis.

Namun, hal-hal itu sesungguhnya mewakili ketakutan terpendam dalam alam bawah sadar banyak warga kulit putih di AS.

Trump sebagaimana Boris, mampu menunjukkan bahwa dengan segala kontroversi negatif, mereka secara diam-diam menyentuh hal yang selama ini terpendam, malu-malu untuk diungkapkan, memanfaatkannya, dan menarik keuntungan yang besar dari isu itu meski berbohong sekalipun.

Situasi inilah yang membuat beberapa waktu terakhir banyak akademisi di Barat mulai meragukan keabsahan pascakebenaran sebagai sebuah postulat untuk menjelaskan fenomena pemilih fanatik yang terkesan delusional.

Keraguan yang terangkum dalam pertanyaan, "Apakah memilih dengan hati adalah kebodohan dan harus dianggap sebagai pascakebenaran?"

Politik pascapemilu

Menengok ke perkembangan politik di Indonesia pascapemilu, apakah hal yang sama juga berlaku?

Situasi politik di Indonesia sesungguhnya relatif lebih rumit dengan apa yang terjadi di Inggris maupun AS.

Sebab, ada dua kubu sangat fanatik yang terbelah di mana masing-masing memiliki mimpi, harapan, kekecewaan, sekaligus ketakutan fundamental yang terpendam dan mendasari perjuangan politik masing-masing.

Hal ini yang membuat meskipun ada komposisi petahana-penantang, kedua belah pihak terlihat sebagai penantang.

Satu pihak memendam ketakutan akan berkuasanya kekuatan Islam fundamentalis, kerinduan akan watak nasionalisme masa lalu, dan adanya kejengahan dengan kuatnya warna Islam dalam politik nasional.

Pihak yang lain menyimpan ketakutan akan sekularisasi yang mengancam eksistensi Islam dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Secara tidak langsung, kedua politikus yang terlibat dalam tarung dalam Pemilu 2019 memperoleh berkah besar dari sentimen-sentimen terpendam tersebut.

Kita sudah tahu hasil Pemilu 2019. Saya tak akan membahas hal tersebut.

Yang sulit disangkal, Pemilu 2019 sarat dengan tarung fanatisme dan tafsiran-tafsiran politik yang jauh melebihi fakta politiknya yang sesungguhnya sangat pragmatis.

Oleh karena itu, hal yang lebih menarik menurut hemat saya saat ini adalah apakah fanatisme dua kubu tersebut masih akan bertahan menyusul mencairnya hubungan politik Joko Widodo-Prabowo Subianto dan elite-elite pendukung kedua kubu belakangan yang menampakkan betapa politik elite di Indonesia sesungguhnya pragmatis belaka?

Merujuk apa yang terjadi pada Boris Johnson, sesungguhnya fanatisme politik dewasa ini bukanlah merujuk kepada satu sosok atau personal orang, melainkan pada ketakutan-ketakutan yang sudah mengakar dan terpendam dalam benak bawah sadar sebagian publik.

Artinya, fanatisme politik bukan hal yang serta-merta mudah dihapus oleh satu dua pernyataan, tekanan, maupun pencairan hubungan politik elite yang pragmatis.

Ada beberapa faktor. Pertama, kegagalan demi kegagalan pemerintah dan kaum elite pada masa-masa sebelumnya dalam menyelesaikan dan menegosiasikan secara tuntas persoalan-persoalan fundamental kebangsaan, seperti hubungan antarumat beragama, tragedi politik masa lalu, hubungan antaretnis, pendatang versus pribumi, ketimpangan ekonomi, dan problem kedaulatan negara.

Akibatnya, seiring dinamika politik yang berubah, hal-hal terpendam tersebut akan menentukan momentumnya untuk meluap ke permukaan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com