Ketiga, dengan segala kontroversinya, sayangnya dia yang secara terang-terangan konsisten berbicara mengenai kedaulatan Inggris, ancaman masuknya imigran, dan hal-hal terpendam lainnya, yang selama ini secara takut-takut dan malu-malu disuarakan warga Inggris yang konservatif di tengah wacana demokrasi yang dipenuhi norma-norma baku atas nama kesetaraan, toleransi, integrasi Eropa.
Apa yang terjadi di Inggris sesungguhnya belakangan juga terjadi di banyak negara. Donald Trump di Amerika Serikat tentu contoh yang sulit disangkal.
Meskipun rakyat AS tahu bahwa 70 persen penyataan Trump di media dan media sosial telah dibuktikan salah atau ngawur, namun popularitasnya tetap tinggi.
Bahkan, meski setiap hari menulis twit hal-hal yang tidak penting dan kerap kali kontraproduktif, kebijakan-kebijakan ekonomi Trump tetap mendapat dukungan publik relatif tinggi. Kebijakan terkait konflik dagang dengan China, misalnya.
Bahkan, hasil polling Fox News 24 Juli 2019 menunjukkan, popularitas Trump menanjak menjadi 52 persen, lebih tinggi daripada polling Mei 2019 yang sekitar 48 persen.
Benar, bahwa di samping pernyataannya yang kontroversial, Trump juga kerap muncul dalam wujud dan kata-kata yang menampakkan dirinya xenophobik, rasialis, megalomaniak, bahkan seksis.
Namun, hal-hal itu sesungguhnya mewakili ketakutan terpendam dalam alam bawah sadar banyak warga kulit putih di AS.
Trump sebagaimana Boris, mampu menunjukkan bahwa dengan segala kontroversi negatif, mereka secara diam-diam menyentuh hal yang selama ini terpendam, malu-malu untuk diungkapkan, memanfaatkannya, dan menarik keuntungan yang besar dari isu itu meski berbohong sekalipun.
Situasi inilah yang membuat beberapa waktu terakhir banyak akademisi di Barat mulai meragukan keabsahan pascakebenaran sebagai sebuah postulat untuk menjelaskan fenomena pemilih fanatik yang terkesan delusional.
Keraguan yang terangkum dalam pertanyaan, "Apakah memilih dengan hati adalah kebodohan dan harus dianggap sebagai pascakebenaran?"
Menengok ke perkembangan politik di Indonesia pascapemilu, apakah hal yang sama juga berlaku?
Situasi politik di Indonesia sesungguhnya relatif lebih rumit dengan apa yang terjadi di Inggris maupun AS.
Sebab, ada dua kubu sangat fanatik yang terbelah di mana masing-masing memiliki mimpi, harapan, kekecewaan, sekaligus ketakutan fundamental yang terpendam dan mendasari perjuangan politik masing-masing.
Hal ini yang membuat meskipun ada komposisi petahana-penantang, kedua belah pihak terlihat sebagai penantang.
Satu pihak memendam ketakutan akan berkuasanya kekuatan Islam fundamentalis, kerinduan akan watak nasionalisme masa lalu, dan adanya kejengahan dengan kuatnya warna Islam dalam politik nasional.
Pihak yang lain menyimpan ketakutan akan sekularisasi yang mengancam eksistensi Islam dan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Secara tidak langsung, kedua politikus yang terlibat dalam tarung dalam Pemilu 2019 memperoleh berkah besar dari sentimen-sentimen terpendam tersebut.
Kita sudah tahu hasil Pemilu 2019. Saya tak akan membahas hal tersebut.
Yang sulit disangkal, Pemilu 2019 sarat dengan tarung fanatisme dan tafsiran-tafsiran politik yang jauh melebihi fakta politiknya yang sesungguhnya sangat pragmatis.
Oleh karena itu, hal yang lebih menarik menurut hemat saya saat ini adalah apakah fanatisme dua kubu tersebut masih akan bertahan menyusul mencairnya hubungan politik Joko Widodo-Prabowo Subianto dan elite-elite pendukung kedua kubu belakangan yang menampakkan betapa politik elite di Indonesia sesungguhnya pragmatis belaka?
Merujuk apa yang terjadi pada Boris Johnson, sesungguhnya fanatisme politik dewasa ini bukanlah merujuk kepada satu sosok atau personal orang, melainkan pada ketakutan-ketakutan yang sudah mengakar dan terpendam dalam benak bawah sadar sebagian publik.
Artinya, fanatisme politik bukan hal yang serta-merta mudah dihapus oleh satu dua pernyataan, tekanan, maupun pencairan hubungan politik elite yang pragmatis.
Ada beberapa faktor. Pertama, kegagalan demi kegagalan pemerintah dan kaum elite pada masa-masa sebelumnya dalam menyelesaikan dan menegosiasikan secara tuntas persoalan-persoalan fundamental kebangsaan, seperti hubungan antarumat beragama, tragedi politik masa lalu, hubungan antaretnis, pendatang versus pribumi, ketimpangan ekonomi, dan problem kedaulatan negara.
Akibatnya, seiring dinamika politik yang berubah, hal-hal terpendam tersebut akan menentukan momentumnya untuk meluap ke permukaan.