Adapun sisanya, selain terbatasnya jumlah sekolah luar biasa (SLB) yang ada, para penyandang disabilitas juga tidak dapat mengakses karena faktor minimnya sarana dan prasarana pendidikan di sekolah umum, meskipun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki program sekolah inklusif.
Terbatasnya akses pendidikan juga dialami oleh anak masyarakat adat. Lembaga Kemitraan menemukan anak-anak di komunitas masyarakat adat dan komunitas terpencil kerap kesulitan mengakses pendidikan karena faktor lokasi tempat tinggal dan penerimaan masyarakat adat terhadap institusi pendidikan.
Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi, yang hidup di kawasan hutan lindung dan berpindah-pindah menyebabkan kesulitan secara administrasi ketika mereka bersekolah, ditambah sistem pernikahan mereka yang dilakukan secara adat, cenderung mempersulit anak-anak mendapatkan akta kelahiran.
Sementara di masyarakat adat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, dan Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) lebih kepada penerimaan sistem pendidikan.
Masyarakat adat Baduy hingga kini masih melarang anak-anak untuk bersekolah, mereka khawatir sekolah akan mengubah cara pandang anak dan berpengaruh pada tradisi dan budaya setempat.
Penolakan pendidikan di masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, lebih disebabkan oleh pengalaman traumatik.
Anak-anak masyarakat adat di sana dipaksa untuk berpindah agama ketika bersekolah pada pendidikan menengah dan atas.
Melalui Program Peduli, Kemitraan bersama mitra CSO lokal mendorong advokasi penyediaan akses terhadap pendidikan.
Ini dilakukan dengan mendorong pemerintah melakukan model dan pendekatan pendidikan dengan mensinergikan filosofi dan praktik sesuai dengan nilai dan budaya yang hidup di masyarakat adat, terutama perlindungan terhadap hak-hak anak pada masyarakat adat.
Berdasarkan catatan Kemitraan dan lembaga lain yang tergabung dalam Program Peduli, selain anak dengan disabilitas, anak masyarakat adat dan terpencil, terdapat persoalan yang juga dialami oleh anak Indonesia.
Persoalan itu antara lain adanya anak pekerja migran, anak yang dilacurkan, anak yang menjalani pidana penjara, anak yang menjadi korban bencana konflik sosial, serta anak yang menjadi korban diskriminasi berdasarkan identitas, politik, dan agama/kepercayaan.
Mereka tidak jarang mengalami eksklusi sosial yang berujung pada pengabaian negara untuk memenuhi hak-haknya yang sebenarnya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi maupun undang-undang.
Tantangan Indonesia menjadi negara layak anak cukup kompleks, namun itu wajib dipenuhi karena Konsensus Hak Anak (KHA) menyebut anak memiliki lima hak, yaitu (1) non diskriminasi, (2) kepentingan terbaik bagi anak, (3) hak hidup, (4) kelangsungan hidup dan perkembangan, serta (5) menghargai pandangan anak.
Pembangunan sumber daya manusia, yang merupakan salah satu fokus pembangunan pada presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin lima tahun mendatang harus menjadi momentum negara untuk memberikan pemenuhan terhadap hak-hak anak.
Karena, masa depan negara ada di tangan anak-anak Indonesia, baik mereka yang kekurangan gizi, berkebutuhan khusus, masyarakat adat dan terpencil.
Dengan meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Presiden Jokowi telah berkomitmen membangun negara Indonesia tanpa meninggalkan, termasuk anak, karena prinsip SDGs adalah no one left behind.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.