INDONESIA memiliki lebih dari selusin regulasi berkaitan dengan isu anak, namun tidak serta-merta persoalan berkaitan dengan anak dapat diselesaikan dengan cepat.
Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005-2025), pemerintah menyebut tiga isu utama yang dihadapi oleh anak Indonesia.
Ketiga isu adalah rendahnya kesejahteraan dan perlindungan; rendahnya partisipasi dan pemberdayaan dalam berbagai bidang pembangunan; serta masih tingginya tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi pada anak.
Salah satu persoalan mendasar yang dialami oleh anak Indonesia adalah pernikahan anak. Ironisnya, persoalan ini tidak kunjung selesai kendati sudah ada UU perkawinan dan UU Perlindungan anak.
Masalah itu muncul karena pada implementasinya, orangtua anak dapat mengajukan dispensasi melalui pengadilan agama untuk dapat melakukan pernikahan, meskipun tidak memenuhi usia yang dianjurkan.
Akibatnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2016, prevalensi perkawinan anak mencapai 23 persen atau satu dari lima perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah pada usia di bawah 18 tahun.
Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ketujuh di dunia terkait dengan tingginya angka pernikahan anak.
Perkawinan anak meninggalkan banyak permasalahan, salah satunya berpotensi menyebabkan terjadinya stunting.
Data Departemen Kesehatan tahun 2017 menyebut 29,6 persen anak bermasalah akibat kekurangan gizi kronis sejak dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
Anak dengan penderita stunting memiliki dampak luar biasa, bahkan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dapat memengaruhi kemampuan ekonomi suatu negara.
Itu terjadi karena rata-rata anak penderita stunting memiliki imunitas lebih buruk dan menyebabkan tinggi badan pendek serta perkembangan organ-organ penting seperti otak juga terhambat.
Pada akhirnya, dampak tersebut menjadi penyebab kemiskinan pada suatu populasi.
Selain menciptakan lingkaran setan stunting karena ketidaksiapan orang tua memiliki anak, perkawinan dini juga menyebabkan hilangnya kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Persoalan pendidikan juga dialami oleh anak Indonesia lainnya, sebut saja anak berkebutuhan khusus (ABK).
Dari total 1,6 juta ABK, baru 18 persen yang mendapat layanan pendidikan (Badan Pusat Statistik, 2017).