Mereka berjuang bersama di Pilgub DKI 2012. Joko Widodo yang kala itu menjabat Wali Kota Solo diboyong ke Jakarta dan dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mereka menang dengan 53,8 persen suara, mengalahkan petahana Fauzi Bowo.
Menjelang Pilpres 2014, kepentingan politik masing-masing membuat keduanya bersimpangan jalan. Saat itu, Mega memutuskan tak maju lagi di pilpres. Ia memilih mengusung Jokowi.
Hal ini tentu saja membuat Gerindra kesal. Jokowi yang namanya ikut dibesarkan oleh Gerindra diusung oleh PDI-P bersaing dengan Prabowo dalam pilpres.
Prabowo tak banyak memberikan pernyataan politik. Kekecewaan Gerindra banyak disuarakan Fadli Zon yang selalu lugas dan tajam menyerang Megawati terkait Perjanjian Batu Tulis.
Prabowo memilih diam. Ia bahkan masih berharap bisa berduet dengan Mega.
"(Koalisi dengan PDI-P) kenapa tidak? Bangsa Indonesia butuh partai yang baik dan saya pikir PDI-P baik dan diisi oleh tokoh-tokoh yang nasionalis," kata Prabowo seusai memantau hasil quick count pileg 2014 di DPP Partai Gerindra, 9 April 2014.
Menurut Prabowo, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, tetapi juga memiliki masalah besar. Prabowo mengatakan, masalah-masalah yang besar itu tidak mungkin bisa diselesaikan oleh satu partai saja, sehebat dan sekuat apa pun partai itu.
"Saya sudah sering menjelaskan, masalah bangsa kita sangat besar. Gerindra ingin jadi bagian dari solusi bangsa. Oleh karena itu, dengan siapa saja yang ingin membangun bangsa ini, kami siap bekerja sama," ujarnya.
Gerindra kemudian mengusung Prabowo sebagai presiden dengan berkoalisi bersama Partai Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Sementara di kubu Jokowi-Kalla ada PKB, Nasdem, dan Hanura.
Seperti halnya pada Pilpres 2019, pada 2014 pun Prabowo menggugat kemenangan Jokowi. Namun, toh akhirnya Prabowo menerima kekalahannya.
Gerindra tetap berada di pihak oposisi kendati akhirnya kehilangan Golkar dan PAN yang merapat ke pemerintahan Jokowi periode pertama.
Rivalitas yang sama terjadi pada 2019. Keras. Sangat keras. Tapi, toh tak ada musuh yang abadi. Rivalitas yang amat keras di pilpres kemarin mencair di atas meja makan kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Nasi goreng spesial yang diracik Megawati sebagai menu makan siang menegaskan kembali adagium politik Lord Parlmerston: tidak ada musuh dan teman abadi dalam politik. Yang ada adalah kepentingan abadi.
Tambo ciek nasi gorengnya, kata orang Minang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.