Sebelum menjabat Kapolda Sumsel, Firli pernah menjadi Deputi Penindakan KPK.
Baca juga: Ingin Masukan dari Masyarakat, Pansel Capim KPK Malah Banyak Terima Email dari Timses
Dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, Firli pernah turut andil dalam mengungkapkan beberpaa kasus. Antara lain kasus mafia pajak dengan tersangka Gayus Tambunan, dimana saat itu dirinya masih berpangkat AKBP dan tergabung dalam tim independen Polri.
Sepak terjang Firli dalam dunia pemerintahan pun terbilang cukup panjang. Setelah lulus dari akpol, dia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) tahun 1997 dan Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) tahun 2004.
Baca juga: KPK Ingatkan Pansel soal Rekam Jejak Capim KPK
Pada tahun 2001, pria kelahiran 7 November 1963 ini menjabat Kapolres Persiapan, Lampung Timur. Empat tahun kemudian karirnya terus berlanjut seiring dengan ditariknya dia ke Polda Metro Jaya untuk menjadi Kasat III Ditreskrimum pada 2005-2006.
Firli lalu dipercaya menjadi Wakapolres Metro Jakarta Pusat di tahun 2009. Belum genap satu tahun menjabat, Firli akhirnya didapuk menjadi Asisten Sekretaris Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca juga: 104 Capim KPK Lolos Tes Kompetensi
Setelah satu tahun, tepat di 2011 Firli memutuskan keluar dari istana dan kembali ke dunia kepolisian. Posisi yang diembannya saat itu menjadi Direskrimsus Polda Jawa Tengah.
Selanjutnya pada 2012, Firli diminta untuk menjadi ajudan Wakil Pesiden RI yang saat itu sedang diduduki oleh Boediono.
Selain tiga nama itu, jenderal polisi lainnya yang lolos seleksi tahap II belum melapor LHKPN untuk tahun 2018.
Brigjen (Pol) Agung Makbul misalnya. Tercatat, ia terakhir melaporkan LHKPN pada Juni 2014 dengan total kekayaan sebesar Rp 1,8 miliar. Sementara Irjen Juansih terakhir melapor 5 Oktober 2007 dengan total harta kekayaan Rp1 miliar).
Baca juga: Pansel KPK Loloskan Seluruh Calon dari Polri Meski Belum Lapor LHKPN
Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto dan Brigjen (Pol) M. Iswandi Hari juga senada. Bambang terakhir kali melaporkan LHKPN yakni bulan Desember 2014 dengan total kekayaan sebesar Rp 5 miliar. Sementara Iswandi terakhir kali melaporkan LHKPN bulan Agustus 2015 dengan total kekayaan Rp 1,2 miliar.
Demikian pula dengan Brigjen (Pol) Sri Handayani dan Irjen (Pol) Ike Edwin. Sri terakhir kali melaporkan LHKPN pada bulan November 2007 dengan total kekayaan sebesar Rp 1,4 miliar. Sementara, Edwin terakhir melaporkan LHKPN-nya pada 19 Maret 2009 dengan total kekayaan Rp 218 juta.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, panitia seleksi capim KPK yang dibentuk Presiden Jokowi tidak tegas dalam menyikapi calon dari Polri yang belum melapor LHKPN.
Pansel harusnya menggugurkan seluruh calon berlatar belakang penyelenggara negara yang tidak patuh melapor kekayaan mereka.
Baca juga: Pansel Akan Serahkan 10 Nama Capim KPK ke Presiden Jokowi 2 September
Sebab, penyelenggara negara wajib secara berkala menyerahkan LHKPN pada KPK sebagaimana yang tertuang pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
"Harusnya calon (pimpinan KPK) itu bisa digugurkan oleh pansel karena tidak memenuhi persyaratan tertentu. Karena ini sudah jadi kewajiban hukum, maka melaporkan LHKPN bukan lagi dari pribadi, melainkan perintah dari negara," kata dia.
Baca juga: Pansel Libatkan 12 Pakar dan Pegiat Antikorupsi Nilai Makalah Capim KPK
Namun, Ketua Pansel capim KPK Yenti Garnasih menegaskan, pelaporan LHKPN bukan menjadi salah satu syarat bagi para calon. Kendati demikian, sudah ada syarat bagi calon untuk menandatangani surat pernyataan.
Surat pernyataan berbunyi, seorang calon pimpinan KPK yang terpilih menjadi pimpinan KPK harus mundur dari jabatannya apabila tidak melaporkan LHKPN. Pernyataan ini berlaku setelah capim terpilih menjadi salah satu pimpinan KPK.
"Jadi nanti, begitu terpilih lima orang (pimpinan baru KPK), baru harus ada LHKPN. Bukan sekarang," ujar Yenti.