Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Rekonsiliasi Bukan Berarti Bagi-bagi Kursi MPR

Kompas.com - 22/07/2019, 20:20 WIB
Kurniasih Budi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penentuan pimpinan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tidak perlu dikaitkan dengan upaya rekonsiliasi bangsa yang sempat terbelah menjadi dua kutub menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) MPR RI Achmad Baidowi menegaskan, pimpinan MPR RI ditentukan berdasarkan musyawarah mufakat sesuai dengan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

“Rekonsiliasi elit politik tidak bisa diidentikkan dengan bagi-bagi kursi parlemen, termasuk posisi pimpinan MPR RI,” kata Baidowi saat diskusi bertema “Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR” di Komplek Parlemen, Senin (22/7/2019).

Usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan hasil Pilpres 2019, ia melanjutkan, Gerindra memang menunjukkan tanda-tanda untuk berkoalisi.

Baca juga: Gerindra: Ketua MPR Sebaiknya Berasal dari Partai Oposisi

Ia mengingatkan, koalisi sebagai upaya rekonsiliasi bangsa tak boleh disertai dengan syarat-syarat tertentu.

Partai-partai pendukung Jokowi pada Pilpres 2019 memberikan dukungan tanpa syarat.

“Gerindra kalau memang ingin berkoalisi juga tidak mengajukan syarat apa pun. Kalau rekonsiliasi tapi ingin menduduki jabatan tertentu, itu namanya politik dagang sapi,” kata dia.

 

Baca juga: Lobi-lobi Partai Politik ke Jokowi demi Kursi Ketua MPR

Menurut dia, sejauh ini fraksi yang berniat mengambil kursi pimpinan MPR yakni Golkar dan PKB karena mempertimbangkan proporsionalitas.

Kedua partai itu memperoleh suara terbanyak, setelah PDI Perjuangan (PDI-P) pada Pemilu Legislatif 2019.

“Jika Gerindra tiba-tiba menjadi Ketua MPR tentu saja bakal mencederai, melukai partai-partai pendukung yang memiliki suara besar dalam pemilu legislatif,” ujar politisi PPP itu.

Rekonsiliasi bangsa

Sebelumnya, Ketua Fraksi Gerindra MPR RI Fary Djemi Francis menilai, wacana bagi-bagi kursi pimpinan MPR tidak etis.

Pasalnya, MPR merupakan lembaga negara yang memposisikan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan politik.

“Tidak penting siapa dan dari partai apa yang menjadi pimpinan MPR. Yang jelas visi besar dalam bernegara harus berjalan sesuai cita-cita para pendiri bangsa,” kata dia.

Meski demikian, Fary berpendapat rekonsiliasi bisa dilakukan pihak-pihak yang mengikuti kontestasi politik pada Pilpres 2019 dengan terbuka terhadap usulan program kerja.

“Rekonsiliasi perlu dilakukan, bagaimana visi maupun program kerja terbaik bisa saling melengkapi baik dari 01 maupun 02. Program unggulan dari masing-masing pihak bisa digabungkan agar Indonesia bisa lebih baik,” ujar dia.

Baca juga: Zulkifli: Pemilihan Pimpinan DPR Keras, Tapi di MPR Musyawarah Mufakat

Ia menegaskan, rekonsiliasi bukan hanya bicara pembagian kursi, melainkan juga soal program-program ke depan.

"Makna rekonsiliasi bukan bagi-bagi kursi tapi mengkolaborasi pihak-pihak yang berkompetisi menjadi satu kekuatan, demi masa depan bangsa Indonesia," kata Fary.

Oleh karena itu, MPR membutuhkan sosok pimpinan yang bisa menyatukan 9 fraksi yang ada. Selain itu, sosok tersebut harus mampu menyatukan program-program strategis gagasan Prabowo dan Jokowi.

Fary sendiri tak mau menyebut nama sosok yang akan diajukan Gerindra sebagai kandidat Ketua MPR.

“Kalau soal nama, pasti sudah ada di kantong Ketum Gerindra,” ujar dia.

Sosok dan program strategis

Sementara itu, anggota Fraksi PDI-P MPR RI Hendrawan Supratikno mengatakan, pimpinan MPR dipilih satu paket bila mengacu pada UU MD3. Adapun saat ini, ada 9 fraksi di DPR dan DPD.

Menurut dia, pimpinan MPR bisa ditentukan melalui jalan aklamasi. Pada 2009, Muhammad Taufiq Kiemas yang dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MPR.

“Aklamasi membutuhkan figur yang tepat. Dengan komunikasi yang hebat, Pak TK bisa jadi jembatan kebangsaan untuk berbagai kelompok,” ujar dia.

Sebagai informasi, Taufiq Kiemas dari PDI-P menjabat Ketua MPR pada periode 2009-2013. Padahal, saat itu PDI Perjuangan merupakan oposisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada periode selanjutnya (2014-2019), Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menjabat Ketua MPR. Saat itu, PAN merupakan oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Anggota Fraksi PPP MPR RI Achmad Baidowi (kiri), Ketua Fraksi Gerindara MPR Ri Fary Djemi Francis, anggota Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno, dan pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Ady Prayitno saat diskusi bertema Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR di Komplek Parlemen, Senin (22/7/2019).KOMPAS.com/ KURNIASIH BUDI Anggota Fraksi PPP MPR RI Achmad Baidowi (kiri), Ketua Fraksi Gerindara MPR Ri Fary Djemi Francis, anggota Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno, dan pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Ady Prayitno saat diskusi bertema Musyawarah Mufakat untuk Pimpinan MPR di Komplek Parlemen, Senin (22/7/2019).

Adapun mekanisme lainnya yaitu pemilihan dengan mengajukan 3 paket yang dipimpin partai-partai dengan suara terbanyak, yakni PDI-P, Golkar, dan Gerindra.

Alternatif ketiga yaitu gabungan fraksi dari partai-partai besar. Menurut Hendrawan, kemenangan kelompok tertentu tentu bisa diprediksi dengan mudah.

“Mana yang fleksibel, nanti kita lihat. Apalagi, masing-masing partai punya kepentingan,” kata dia.

Saat ini, fraksi-fraksi yang ada masih menjalin komunikasi politik. Meski begitu, ia melanjutkan, pimpinan MPR sudah bisa diketahui sebelum sampai ke sidang paripurna.

PDI-P mewacanakan agar fraksi-fraksi mengusulkan gagasan, konsep, program strategis MPR untuk 5 tahun kedepan. Selain itu, setiap fraksi perlu mengajukan nama calon pimpinan MPR lengkap dengan rekam jejaknya.

Golkar dan PKB berpeluang besar

Pengamat politik Universitas Islam Nasional (UNI) Syarif Hidayatullah, Ady Prayitno, mengatakan penentuan Ketua MPR dengan cara aklamasi sepertinya sulit terwujud pada 2019.

Pasalnya, hingga kini tidak ada sosok yang bisa berperan seperti Taufiq Kiemas dalam berpolitik.

Gerindra berupaya mewujudkan rekonsiliasi dengan mengajukan klausul koalisi. Adapun koalisi yang diinginkan berupa pembagian jatah kursi Ketua MPR periode 2019-2024.

“Mungkin saja Gerindra menjadi pimpinan MPR, kalau PDI-P mau kasih karpet merah. Kalau bagi-bagi kursi, ya bisa saja Gerindra jadi pimpinan MPR. Dan stop mengkambinghitamkan rekonsiliasi kalau tidak dapat kursi pimpinan MPR,” ujar Ady.

Baca juga: Rekonsiliasi, Fraksi Gerindra Usulkan Gerindra Ketua MPR, PDI-P Ketua DPR

Ambisi Gerindra, ia melanjutkan, sepertinya tak semudah membalik telapak tangan. Pasalnya, partai pendukung Jokowi menguasai parlemen dengan suara mayoritas.

Adanya wacana PDI-P memasang Puan Maharani sebagai Ketua DPR memunculkan spekulasi kursi MPR akan diduduki fraksi lainnya.

Partai pendukung Jokowi tentu saja berpotensi lebih besar untuk menduduki kursi panas itu. Penentuannya, imbuh dia, berdasarkan asas proposionalitas.

Dua partai yang berpotensi mendapat jatah kursi Ketua MPR adalah yang meraup suara terbanyak setelah PDI-P, yaitu Golkar dan PKB.

“Bisa jadi, kalau terjadi deadlock, maka PPP bisa muncul,” ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi di Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com