JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membacakan surat presiden Joko Widodo terkait permohonan pertimbangan amnesti untuk Baiq Nuril dalam rapat paripurna pada Selasa (16/7/2019) lalu.
Dalam surat itu, Presiden menilai vonis hukuman yang dijatuhkan kepada Baiq Nuril, mendapat simpati dari masyarakat. Sebab, hukuman itu dinilai bertentangan dengan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.
Presiden Jokowi pun berharap DPR segera memberikan pertimbangan amnesti untuk Baiq Nuril.
Surat Jokowi telah dibahas dalam rapat Badan Permusyawaratan (Bamus) DPR. Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, pembahasan pemberian amnesti diserahkan Komisi III yang membidangi hukum.
Hasil pembahasan diharapkan selesai paling lambat sebelum masa reses DPR 26 Juli 2019.
"Insya Allah secepatnya harus dibahas karena penutupan masa sidang itu tanggal 25 Juli 2019 sehingga nanti harus diputuskan dalam rapat paripurna terakhir di tanggal 25 Juli tersebut," kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Baca juga: Selangkah Lagi, Amnesti untuk Baiq Nuril...
Pemberian amnesti untuk Baiq Nuril kini berproses di DPR, terutama Komisi III. Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik Suryani mengatakan, kemungkinan pembahasan pemberian amnesti untuk Baiq Nuril akan dibahas pada 24 Juli 2019.
"Belum hari ini, kemungkinan tanggal 24," kata Erma saat dihubungi, Rabu (17/7/2019).
Lalu, apa yang menjadi pertimbangan Komisi III dalam membahas amnesti tersebut?
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan, dalam membahas pemberian amnesti pihaknya harus mengkaji fakta-fakta yang terungkap dalam kasus Baiq Nuril.
Komisi III juga harus mempelajari Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan dalam kasus tersebut.
Selain itu, Komisi III akan melihat lagi pertimbangan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
"Terakhir suara-suara keadilan yang disuarakan hak sipil itu harus dipertimbangkan juga ya. Di samping juga DPR juga ada melihat apakah ini justru amnesti berhak digunakan atau tidak untuk kasus ini," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Baca juga: Hasil Rapat Bamus, Pertimbangan Permohonan Amnesti Baiq Nuril Dibahas di Komisi III
Ia mengatakan, DPR melalui Komisi III pasti dapat memahami bahwa konstruksi hukum dalam kasus Baiq Nuril keliru, sehingga menjadikan Baiq sebagai terdakwa. Padahal, ibu dari tiga orang anak itu adalah korban pelecehan seksual secara verbal.
DPR harus mempertimbangkan aspek kepentingan negara dalam memberikan amnesti tersebut yaitu komitmen melindungi warga negara dari kekerasan seksual.
"Di sini kepentingan negara jelas, yaitu untuk berkomitmen pada penghapusan kekerasan seksual," kata Bivitri saat dihubungi, Kamis (18/7/2019).
Bivitri menambahkan, pemberian amnesti tidak sebatas pada pelaku tindak pidana terkait dengan politik saja. Presiden juga dapat memberikan amnesti untuk narapidana biasa seperti Baiq Nuril.
Baca juga: DPR Setuju Beri Pertimbangan Amnesti, Baiq Nuril: Alhamdulilah...
Kasus Baiq Nuril berawal pada 2012, ketika ia masih bekerja sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram. Baiq kerap menerima telpon dari kepsek dengan inisial M yang menceritakan hubungannya dengan wanita lain yang juga dikenal Baiq.
Ia merasa dilecehkan dalam percakapan tersebut sehingga merekam perbincangan dengan kepsek M.
Pada tahun 2015, rekaman Baiq dan kepsek tersebar luas di masyarakat Mataram. Lalu, Kepsek M melaporkan Baiq ke polisi karena telah merekam dan menyebar luaskan isi percakapan tersebut.
Baiq telah menjalani proses hukum hingga persidangan. Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Baiq dan tim hukumnya kemudian mengajukan PK. Dalam sidang PK, MA memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.