Peserta FGD lainnya dari Universitas Negeri Semarang, Suyahmo, menyebutkan, presiden semestinya memiliki posisi yang relatif kuat.
"Namun sayang, masa jabatan Presiden hanya dua periode. Lima tahun dan selanjutnya bisa dipilih lagi jika terpilih lagi. Dengan diberi 2 kali masa jabatan, seorang presiden pada periode pertama kerjanya bisa jadi kurang all out. Sebab, dibayangi kepentingan politik untuk bisa terpilih lagi untuk periode kedua," kata dia.
Menurut Suyahmo, presiden cukup memegang jabatan satu periode saja, yakni selama 8 hingga 9 tahun.
Dengan demikian, presiden terpilih bisa lebih fokus bekerja secara profesional dan tidak berpikir untuk terpilih lagi.
Selain itu, antara Presiden sebagai eksekutif dan DPR sebagai legislatif secara kuantitatif dalam konteks checks and balances tidak harus didudukan secara proporsional.
Itu artinya, ia melanjutkan, jumlah anggota DPR sebagai pendukung eksekutif diporsikan lebih banyak daripada jumlah anggota DPR sebagai pengontrol.
Baca juga: MPR Rekomendasikan Amandemen UUD Dilakukan pada Periode Mendatang
"Namun, dengan catatan bahwa kualitas, integritas, kapabilitas eksekutif terandalkan hanya bekerja demi kepentingan rakyat," tandas Suyahmo.
Adapun kegiatan FGD ini digelar untuk menghimpun pemikiran dan gagasan kritis, inovatif, solutif dan kontributif bagi MPR khususnya secara kelembagaan dan upaya penataan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Hendrawan menegaskan, masukan dan pemikiran para pakar, ahli, akademisi dari berbagai perguruan tinggi tersebut akan dikaji dan diserahkan kepada pimpinan dan anggota MPR periode 2019-2024 dalam bentuk rekomendasi.
"Hasil yang kami bahas sama-sama menghasilkan pemikiran yang luar biasa dan banyak yang ternyata kita satu pemikiran, seperti soal penguatan sistem Presidensial," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.