JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli memenuhi panggilan pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (19/7/2019).
Mantan Menteri Keuangan itu rencananya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.
"Saya dipanggil KPK untuk kasus SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI. Saya sendiri pada saat kejadian kasus itu bukan pejabat lagi dan karena itu terjadi pada tahun 2004 pada saat pemerintahan Mbak Mega (mantan Presiden Megawati Soekarnoputri)," kata Rizal saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Baca juga: Terdakwa Kasus BLBI Syafruddin Temenggung Dibebaskan MA, KPK Pertimbangkan PK
Rizal memperkirakan penyidik akan menggali pengetahuannya soal prosedur penerbitan SKL BLBI tersebut.
"Saya dianggap banyak mengerti, tahu prosedur dari sejak awal BLBI, KPK minta saya memberikan penjelasan. Spesifiknya tentu nanti setelah ditanya-tanya (diperiksa) kita bisa ngobrol lagi," kata Rizal.
Dalam pengembangan kasus BLBI, KPK menjerat Sjamsul Nursalim selaku obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka.
Penetapan tersangka ini berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Majelis hakim dalam putusannya saat itu memandang perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004.
Syafruddin selaku Kepala BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).
Baca juga: Jumat Besok, KPK Panggil Rizal Ramli Sebagai Saksi Kasus BLBI
Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan (misrepresentasi) dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.
Perbuatan Syafruddin dinilai telah menghilangkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim sebesar Rp 4,58 triliun.