Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Yusril di Balik Upayanya Membela HTI...

Kompas.com - 17/07/2019, 20:33 WIB
Kristian Erdianto,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Advokat Yusril Ihza Mahendra memiliki cerita tersendiri saat ia menjadi kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Pada Mei 2017, Yusril bersedia membela HTI yang kini dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah.

HTI dibubarkan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo karena dianggap anti-Pancasila.

Yusril dan timnya pun menggugat keputusan Menteri Hukum dan HAM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Yusril tetap mengawal gugatan HTI saat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Meski menjadi kuasa hukum, Yusril mengaku tidak sepakat akan ajaran ideologi HTI.

Baca juga: Yusril di Antara Harapan Amnesti Kasus Makar dan Upaya Rekonsiliasi..

Konsep khilafah yang ia pahami tidak sejalan dengan konsep khilafah yang diyakini oleh organisasi tersebut.

Bagi Yusril, Presiden RI itu merupakan khalifah (pemimpin khilafah) sebagaimana yang dimaksudkan dalam ajaran Islam.

"Kalau dibilang politis ideologis, pikiran-pikiran HTI itu saya enggak setuju. Doktrinnya tentang khilafah beda sama saya," ujar Yusril dalam wawancara eksklusif dengan Kompas.com di kantornya, Kasablanka Office Tower, Jakarta Selatan, Jumat (12/7/2019).

"Saya ketemu di sini sama Ismail Yusanto. Saya bilang saya enggak percaya sama khilafah yang dipahami oleh HTI itu, walaupun saya percaya khilafah itu bagian dari ajaran Islam itu ya, tetapi tafsirnya beda dengan dia," ucap Yusril.

Belajar dari Suroto dan Roem

Lantas, kenapa Yusril tetap membela HTI mesti tak setuju akan ideologi organisasi itu?

Menjadi seorang advokat, kata Yusril, harus sanggup membela siapa pun yang haknya dilanggar meski memiliki paham atau pandangan yang berbeda.

Prinsip itu ia dapatkan dari seorang advokat sekaligus anggota organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Suroto Kartosudarmo.

Adapun Suroto pernah menjadi kuasa hukum Kartosoewirjo, tokoh Negara Islam Indonesia (NII).

Baca juga: Yusril, Habil Marati, dan Strategi Rekonsiliasi Pilpres...

 

Suroto menjadi pengacara Kartosoewirjo saat menjalani sidang di Pengadilan Mahkamah Militer dengan tuduhan hendak menjatuhkan pemerintah dan membunuh Presiden Soekarno.

Pengadilan akhirnya menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan vonis mati.

"Itu tahun 1963. Saya waktu itu umur 7 tahun. Jadi saya dengar siaran radio itu pengadilannya Kartosoewirjo," ucap Yusril.

Ketua tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Yusril Ihza Mahendra selaku pihak terkait bersiap mengikuti sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan jawaban termohon, pihak terkait dan Bawaslu.ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A Ketua tim kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 01 Yusril Ihza Mahendra selaku pihak terkait bersiap mengikuti sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan jawaban termohon, pihak terkait dan Bawaslu.

Beberapa tahun kemudian, Yusril menyimak siaran radio mengenai pengadilan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lagi-lagi, Suroto tampil menjadi kuasa hukum. Kali ini, ia membela orang-orang PKI yang menjadi terdakwa.

"Jadi yang diadilinya ini orang PKI, tetapi yang bela ini Suroto Kartosudarmo lagi. Aneh juga ini orang," kata Yusril.

Saat menjadi mahasiwa, Yusril sempat bertemu dengan Suroto di sebuah kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Lantas, Yusril bertanya kenapa saat itu Suroto mau menjadi pembela orang-orang PKI. Sebab, Suroto merupakan anggota organisasi yang berseberangan secara ideologi dengan PKI.

Suroto juga tercatat sebagai pendiri Sarekat Dagang Islam bersama-sama dengan KH Samanhudi.

"Dia ketawa sama saya. Dia bilang, yang kita orang-orang Masyumi ini, musuh pun kita bela. Sepanjang kalau hak-haknya dizalimi. Kita sama orang PKI sampai mati kita berbenturan, tetapi kalau ada hak-hak orang PKI yang dizalimi, kita wajib membela hak-hak dia. Bukan berarti kita setuju dengan ideologinya PKI," kata Yusril meniru jawaban Suroto saat itu.

Baca juga: Kata Yusril soal Upaya Bebaskan Tersangka Donatur Rencana Pembunuhan Wiranto hingga Yunarto

Sosok lain yang mengajari Yusril adalah seorang diplomat zaman Presiden Soekarno, yakni Mohammad Roem.

Menurut Yusril, Roem pernah membela Soekarno saat Sang Proklamator itu dikritik keras oleh seorang jurnalis, Rosihan Anwar.

Roem memberikan pembelaan terhadap Soekarno melalui artikel di surat kabar kendati Roem pernah dipenjara oleh Soekarno.

"Dia (Roem) bilang sejarah itu harus ditulis secara obyektif. Dengan Bung Karno saya (Roem) banyak beda pendapat sesudah 1949. Saya bahkan pernah dipenjarakan sama Bung Karno. Tapi saya enggak ada dendam," tutur Yusril.

Tak sepakat HTI dibubarkan

Prinsip untuk membela siapa pun yang dilanggar haknya tanpa memandang latarbelakang ideologi ini terus dipegang oleh Yusril hingga ia menjadi advokat.

Begitu juga saat ia memutuskan untuk membela HTI. Yusril menilai, Pemerintah RI telah melanggar hak HTI sebagai sebuah organisasi.

Massa Aksi Bela Tauhid melakukan aksi unjuk rasa di sekitaran patung Kuda Arjuna Wijaya hingga depan kantor Kemenkopolhukam di Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018). Demo bertajuk Aksi Bela Tauhid ini merupakan respons atas pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilakukan oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU di Garut, pada Senin lalu.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Massa Aksi Bela Tauhid melakukan aksi unjuk rasa di sekitaran patung Kuda Arjuna Wijaya hingga depan kantor Kemenkopolhukam di Jakarta Pusat, Jumat (26/10/2018). Demo bertajuk Aksi Bela Tauhid ini merupakan respons atas pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilakukan oleh anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU di Garut, pada Senin lalu.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat.

Perppu itu merevisi sejumlah norma yang ada di UU ormas, salah satunya pembubaran ormas tidak harus lewat jalur pengadilan.

Baca juga: Yusril Yakin MA Tolak Permohonan Sengketa Pilpres Prabowo-Sandiaga

Dengan demikian, Pemerintah bisa langsung membubarkan ormas yang melanggar aturan.

Yusril tidak sepakat dengan cara itu. Ia mengatakan, seharusnya hukum tidak digunakan sebagai instrumen untuk membubarkan sebuah organisasi.

"Jadi HTI itu dibubarkan dengan undang-undang yang sengaja dibikin untuk membubarkan dia. Itu sama seperti pembubaran Masyumi tahun 1960. Masyumi itu dibubarkan dengan Perpres yang sengaja untuk bubarin dia. Hukum itu bukan begitu," ujar Yusril.

"Hukum itu harus dibuat secara obyektif. Sudah ada lebih dulu baru kita bisa terapkan. Bukan kita bikin hukumnya baru kita bisa tangkap. Itu enggak benar cara seperti itu," ucap dia. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com