Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Yusril soal Upaya Bebaskan Tersangka Donatur Rencana Pembunuhan Wiranto hingga Yunarto

Kompas.com - 15/07/2019, 06:40 WIB
Kristian Erdianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Habil Marati berpotensi dikenakan pasal makar terkait kasus dugaan rencana pembunuhan terhadap empat pejabat tinggi negara oleh kepolisian. Dalam kasus ini, Habil menjadi tersangka penyandang dana.

Berdasarkan keterangan polisi, Habil berperan memberikan uang sejumlah Rp 150 juta untuk membeli senjata kepada tersangka lain, yaitu Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen.

Senjata itu diduga akan digunakan untuk membunuh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan Gories Mere dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.

Selain itu, Habil juga diduga penyandang dana aksi unjuk rasa yang berujung rusuh di depan Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum pada 21-22 Mei 2019. 

Kepada kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, Habil rupanya mengakui bahwa dirinya memang memberikan uang kepada Kivlan Zen. Namun, Habil tidak mengetahui uang tersebut akan digunakan untuk membeli senjata.

Menurut Yusril, Habil hanya mengetahui bahwa yang diberikan akan dipakai untuk membiayai aksi demonstrasi.

"Jadi kalau dari versinya Pak Habil, beliau mengakui memberikan sumbangan dana untuk melakukan kegiatan. Kegiatan apa, beliau tidak mengetahui detail, kegiatan unjuk rasa seperti itu," ujar Yusril dalam wawancara ekslusif dengan Kompas.com di kantornya, Kasablanka Office Tower, Jakarta Jumat (12/7/2019).

Baca juga: Selasa, Kivlan Zen Kembali Diperiksa soal Uang dari Habil Marati

"Tapi menurut Pak Habil, beliau tidak mengetahui dan tidak bermaksud agar uang yang disumbangkannya itu untuk membeli senjata. Senjata itu kemudian akan digunakan untuk (perencanaan) membunuh beberapa tokoh di negara kita ini," lanjut dia.

Di sisi lain, penyidik kepolisian meyakini kemungkinan Habil mengetahui uang itu akan digunakan untuk membeli senjata dan membunuh pejabat tinggi negara, selain untuk mendanai demonstrasi. Hal itu diketahui pihak penyidik dari pengumpulan alat bukti dan keterangan para saksi.

Kendati demikian, Yusril belum mau memberikan penilaian pendapat siapa yang dapat dianggap benar, kliennya atau penyidik. Yusril yang juga merupakan pengacara pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi itu, mengaku masih menggali fakta-fakta guna mencari kebenaran materiil.

"Jadi dengan begitu, saya coba mengumpulkan informasi itu secara seimbang. Sementara ini, saya tidak mengatakan bahwa Pak Habil benar atau penyidik benar. Karena saya sebagai advokat saya mencoba untuk menggali dari fakta-fakta. Karena ini kasus pidana, yang dicari adalah kebenaran materiil," kata Yusril.

Pasal makar

Meski kliennya berpotensi dikenakan pasal makar, Yusril yakin hal itu justru akan menimbulkan perdebatan. Pasalnya hingga saat ini, Indonesia masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari terjemahan hukum Belanda yang tidak resmi.

Sementara dari segi hukum, kata makar atau 'anslaag' dalam bahasa Belanda sendiri tidak bisa diartikan sesederhana membunuh pejabat negara.

"Dari segi hukum pidana, makar itu sendiri sesuatu yang masih 'debatable'. Jadi, ada kata-kata 'anslaag' dalam bahasa Belanda itu tidak sesederhana diartikan dengan makar dan sebagainya," ucap Yusril.

Menurut Yusril, ada dua pandangan hukum yang mengategorikan apakah sebuah perbuatan termasuk tindak pidana makar atau bukan. Pertama, yakni membunuh kepala negara, dalam hal ini adalah presiden.

Kedua, perbuatan atau upaya untuk memisahkan suatu daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kemudian, terkait penggunaan pasal makar juga dapat dilihat dengan perspektif lain, yakni tidak hanya membunuh, tapi juga membuat kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Oleh sebab itu, kata Yusril, memang perlu didalami lebih jauh apakah rencana pembunuhan terhadap pejabat tinggi negara seperti yang disangkakan terhadap Habil dapat dikategorikan sebagai tindak pidana makar.

Baca juga: Tersangka Penyandang Dana Rencana Pembunuhan Pejabat, Habil Marati, Akan Ajukan Penangguhan Penahanan

"Jadi, ya tentu harus didalami. Kalau yang mau dibunuh ini Pak Wiranto, Pak Tito, Pak Tjahjo, satu lagi Yunarto, itu enggak ada urusannya sama Kepala Negara. Jadi kalau mau membunuh, dia (tindakan) itu bukan makar, itu pembunuhan biasa," kata Yusril.

Perdebatan inilah yang diakui Yusril sebagai peluang ia mampu membebaskan kliennya dari segala tuduhan.

Yusril juga menekankan kepada kliennya untuk tidak berbohong mengenai perbuatannya. Menurut dia, kejujuran merupakan kunci utama nasib seseorang di mata hukum.

"Walaupun saya advokatnya Pak Habil. Tapi saya ingin supaya itu didudukkan secara proporsional. Jadi saya enggak ingin juga, walaupun orang yang didakwa di pengadilan itu punya hak ingkar, tapi saya enggak ingin juga anda (Habil) nanti jangan bohong-bohong," ujar Yusril.

Proses rekonsiliasi

Keputusan Yusril untuk menjadi kuasa hukum Habil Marati ternyata tidak hanya soal penegakan hukum, atau mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Yusril justru melihat kasus tersebut sebagai pintu masuk rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019.

Tidak hanya kasus Habil Marati, tapi juga kasus Kivlan Zen dan kasus kepemilikan senjata api ilegal yang menjerat mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko.

Begitu juga dengan kasus makar pada 2016 yang menyeret nama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus putri Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, tokoh pergerakan Sri Bintang Pamungkas, aktivis Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen dan Adityawarman Taha.

Mereka adalah para tokoh yang secara politik berseberangan dengan Presiden Joko Widodo dan merupakan pendukung capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.

"Nah konteks sebenarnya adalah keinginan kita untuk melakukan rekonsiliasi nasional pascapemilu khususnya pascapemilihan presiden. Dan ini merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi bangsa kita. Kita menyelenggarakan pemilu serentak dengan segala konsekuensi politik yang terjadi sesudah itu," ujar Yusril.

Yusril menilai proses rekonsiliasi sangat penting dilakukan sebagai upaya untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah akibat pilpres.

Sebagai kuasa hukum, ia mengaku akan menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti dan abolisi terhadap seluruh lawan politiknya.

Baca juga: Yusril Ihza Mahendra Ungkap Alasannya Jadi Pengacara Habil Marati

Menurut Yusril pemberian amnesti atau pengampunan itu akan berdampak positif terkait proses rekonsiliasi.

Dengan begitu masyarakat akan melihat bahwa Presiden Jokowi sebenarnya tidak menginginkan perpecahan. Ia juga berharap para pejabat negara yang diduga akan dibunuh juga dapat memberikan maaf.

"Saya akan menyarankan pada Pak Presiden nanti. Pak inilah saatnya untuk Bapak memberikan amnesti dan abolisi kepada beliau-beliau ini," tutur Yusril.

"Mungkin juga Pak Wiranto, Pak Tjahjo atau Pak Tito yang mau dibunuh itu...sudahlah kita saling memafkan, rekonsiliasi. Semua dengan jiwa besar, saya pikir bangsa kita jadi bersatu kembali. luka-luka kita selesai," tambahnya.

Kompas TV Purnawirawan TNI Kivlan Zen Jalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya sebagai saksi tersangka kasus dugaan makar, Kivlan Zein dikonfrontasi dengan tersangka kasus dugaan aliran dana pembelian senjata api ilegal Habil Marati. Keterengan Kival Zen akan dikonfrontasi dengan keterangan Habil Marati di Ditreskrimum Polda Metro Jaya. #KivlanZen #HabilMarati

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com