Kedua, perbuatan atau upaya untuk memisahkan suatu daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kemudian, terkait penggunaan pasal makar juga dapat dilihat dengan perspektif lain, yakni tidak hanya membunuh, tapi juga membuat kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya.
Oleh sebab itu, kata Yusril, memang perlu didalami lebih jauh apakah rencana pembunuhan terhadap pejabat tinggi negara seperti yang disangkakan terhadap Habil dapat dikategorikan sebagai tindak pidana makar.
"Jadi, ya tentu harus didalami. Kalau yang mau dibunuh ini Pak Wiranto, Pak Tito, Pak Tjahjo, satu lagi Yunarto, itu enggak ada urusannya sama Kepala Negara. Jadi kalau mau membunuh, dia (tindakan) itu bukan makar, itu pembunuhan biasa," kata Yusril.
Perdebatan inilah yang diakui Yusril sebagai peluang ia mampu membebaskan kliennya dari segala tuduhan.
Yusril juga menekankan kepada kliennya untuk tidak berbohong mengenai perbuatannya. Menurut dia, kejujuran merupakan kunci utama nasib seseorang di mata hukum.
"Walaupun saya advokatnya Pak Habil. Tapi saya ingin supaya itu didudukkan secara proporsional. Jadi saya enggak ingin juga, walaupun orang yang didakwa di pengadilan itu punya hak ingkar, tapi saya enggak ingin juga anda (Habil) nanti jangan bohong-bohong," ujar Yusril.
Keputusan Yusril untuk menjadi kuasa hukum Habil Marati ternyata tidak hanya soal penegakan hukum, atau mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Yusril justru melihat kasus tersebut sebagai pintu masuk rekonsiliasi pasca-Pilpres 2019.
Tidak hanya kasus Habil Marati, tapi juga kasus Kivlan Zen dan kasus kepemilikan senjata api ilegal yang menjerat mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko.
Begitu juga dengan kasus makar pada 2016 yang menyeret nama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus putri Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, tokoh pergerakan Sri Bintang Pamungkas, aktivis Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen dan Adityawarman Taha.
Mereka adalah para tokoh yang secara politik berseberangan dengan Presiden Joko Widodo dan merupakan pendukung capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.
"Nah konteks sebenarnya adalah keinginan kita untuk melakukan rekonsiliasi nasional pascapemilu khususnya pascapemilihan presiden. Dan ini merupakan suatu pengalaman yang berharga bagi bangsa kita. Kita menyelenggarakan pemilu serentak dengan segala konsekuensi politik yang terjadi sesudah itu," ujar Yusril.
Yusril menilai proses rekonsiliasi sangat penting dilakukan sebagai upaya untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah akibat pilpres.
Sebagai kuasa hukum, ia mengaku akan menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti dan abolisi terhadap seluruh lawan politiknya.
Baca juga: Yusril Ihza Mahendra Ungkap Alasannya Jadi Pengacara Habil Marati
Menurut Yusril pemberian amnesti atau pengampunan itu akan berdampak positif terkait proses rekonsiliasi.
Dengan begitu masyarakat akan melihat bahwa Presiden Jokowi sebenarnya tidak menginginkan perpecahan. Ia juga berharap para pejabat negara yang diduga akan dibunuh juga dapat memberikan maaf.
"Saya akan menyarankan pada Pak Presiden nanti. Pak inilah saatnya untuk Bapak memberikan amnesti dan abolisi kepada beliau-beliau ini," tutur Yusril.
"Mungkin juga Pak Wiranto, Pak Tjahjo atau Pak Tito yang mau dibunuh itu...sudahlah kita saling memafkan, rekonsiliasi. Semua dengan jiwa besar, saya pikir bangsa kita jadi bersatu kembali. luka-luka kita selesai," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.