PASCA-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan pasangan Capres/Cawapres Prabowo-Sandi dalam sengketa perselisihan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) terdapat tugas maha berat dari Pasangan Capres/Cawapres Jokowidodo/KH Ma’ruf Amin untuk membentuk kabinet presidensialnya.
Menjadi berat karena koalisi partai pendukung Presiden Jokowi (Kolisi Indonesia Kerja) mencapai sekitar 10 partai (terlepas ada yang tidak lolos pileg nasional).
Kondisi demikian niscaya menjadi beban pemikiran Presiden dan Wakil Presiden kelak usai dilantik untuk bagaimana membagi adil dan bisa diterima semua pihak ketika parpol pendukung mendesak (baik vulgar maupun halus) diakomodasi di kabinet.
Belum lagi tekanan untuk rekonsiliasi dengan pihak Prabowo-Sandi. Ada sinyal dari partai kubu sebelah untuk juga berharap jatah kursi menteri. Sinyal itu setidaknya terlihat kuat dari PAN dan Partai Demokrat.
Di luar itu, Presiden Jokowi perlu memikirkan pula estafet kepemimpinan dengan memberikan alokasi kursi menteri bagi kalangan muda-milenial.
Secara konstitusional, pasca-reformasi, Indonesia menganut sistem presidensial. Hal ini nampak dari bangunan sistem ketatanegaraan yang didesain.
Pertama, mendekonstruksi kelembagaan MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara biasa setara dengan DPR, DPD, Presiden, MK dan BPK.
Kedua, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Maka, presiden dan wakil presiden tidak dapat dijatuhkan seperti dulu atas landasan pelanggaran haluan negara (GBHN salah satunya).
Presiden hanya dapat diberhentikan bila melakukan pelanggaran hukum dan itu pun melalui mekanisme diperiksa terlebih dahulu oleh MK atas pendapat DPR yang menduga terjadi pelanggaran hukum.
Ketiga, presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sebaliknya pun, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Semua diatur di UUD 1945 seperti di Pasal 1 ayat (1), (2), (3), Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 17.
Meski demikian, sistem pemerintahan presidensial kita tidak sepenuhnya autentik. Ada beberapa basis inkonsisten. Seperti pada ketentuan di satu sisi presiden mengangkat dan memberhentikan menteri (Pasal 17 ayat (2) UUD 1945) sebagai bentuk hak prerogatif Presiden.
Namun di sisi lain, Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Kementerian Negara membatasi jumlah kementerian, paling banyak 34 kementerian.
Demikian pula timbul ketidak laziman dalam sistem presidensial Indonesia karena dibasiskan pada multi partai.
Padahal, menurut Scott Mainwaring,(1990:2), sangat sukar terbentuk pemerintahan stabil di sistem presidensial jika berbasis multi partai dan koalisi partai.
Ini terjadi pada fenomena tersanderanya Presiden SBY-JK pada masa pemerintahannya dalam tekanan partai politik yang menjadi koalisinya.
Hal serupa juga tampak pada periode Presiden Jokowi-JK dengan bongkar pasang kabinet. Sampai terbawa istilah “petugas partai” dalam diskursus pengamatan politik kontemporer kita.
Tulisan ini hendak melacak berbagai isu dan pemikiran yang perlu ditimbang dalam menyelamatkan sistem presidensial dan demokrasi secara kompatibel.
Sebuah pesan kritis dikirim oleh Nurliah Nurdin dan Saafroedin Bahar dalam buku Sarah Nuraini Siregar (editor), Sistem Presidensial Dari Soekarno ke Jokowi, (2018: 467) soal Presiden Jokowi.
Menurutnya, tantangan terberat Jokowi dalam membentuk kabinet adalah ia harus bisa “menjawab gejolak ekspektasi masyarakat dengan tetap berpegang pendekatan populisnya.
Dia harus memiliki keberanian untuk bertindak sebagai presiden. Kalau tidak, ia akan merusak kepercayaan publik yang ia nikmati yang membuatnya menjadi presiden terpilih”. Lebih buruk lagi, demokrasi Indonesia hanya akan menguntungkan elite semata.
Ada beberapa catatan menyangkut pembentukan kabinet.