JAKARTA, KOMPAS.com - Rumusan pasal dalam pasal-pasal pidana terhadap agama dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikritik sejumlah organisasi masyarakat sipil karena dinilai multitafsir dan berpotensi menimbulkan diskriminasi.
Anggota Tim Panitia Kerja (Panja) DPR Arsul Sani menuturkan, pihaknya terbuka dengan setiap usulan rumusan pasal dari masyarakat terkait pembahasan RUU KUHP. Oleh sebab itu, ketentuan pasal=pasal tersebut masih dapat berubah.
"Masih memungkinkan (berubah). Itulah yang kami terbuka, draf usulannya seperti apa," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Baca juga: Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Arsul menjelaskan, draf RUU KUHP per 25 Juni 2019 merupakan rancangan draf yang disepakati dalam rapat tim perumus (Timus).
Dengan demikian, seluruh substansi pasal RUU masih dapat berubah dan dibahas kembali saat rapat Panja di tingkat komisi bersama pemerintah.
"Kan kesepakatan rapat di situ adalah yang kita sepakati itu di (rapat) Timus. Tapi kan boleh beda nanti di rapat tingkat Panja rapat pleno komisi, kan boleh," kata Arsul.
Baca juga: Komisi III: RUU KUHP Belum Dapat Disahkan pada Pertengahan Juli
Namun, Arsul menekankan bahwa DPR dan Pemerintah telah sepakat tindak pidana terhadap agama tetap diatur dalam RUU KUHP.
Maka, usulan yang dapat ditampung dalam rapat hanya soal perubahan rumusan pasal, bukan permintaan untuk meniadakan pasal tindak pidana terhadap agama.
"Silakan mana (usulan.perubahan) pasalnya. Tapi jangan berdebat soal enggak perlu ada pasal itu. Karena DPR dan pemerintah sepakat itu perlu ada sebagai politik hukum kita," tutur dia.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakati Delik Pidana terhadap Agama dalam RUU KUHP
Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, delik pidana terhadap agama diatur dalam enam pasal, yakni Pasal 313 hingga Pasal 318.
Keenam pasal itu diletakkan pada Bab VII dengan judul Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragam.
Namun, ketentuan delik pidana terhadap agama mendapat kritik dari Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan yang terdiri dari 11 organisasi masyarakat sipil.
Baca juga: Soal RUU KUHP, YLBHI: Agama Tak Dapat Jadi Subyek Hukum
Koalisi berpendapat, meskipun ada perkembangan baik terkait delik-delik keagamaan, masih ada pasal-pasal yang menimbulkan kekhawatiran apabila diberlakukan.
Mereka memandang pasal-pasal tentang agama tersebut justru semakin membuka ruang diskriminasi, konflik, dan melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat.