Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemberlakuan Hukum Adat Jadi Perdebatan dalam Pembahasan RUU KUHP

Kompas.com - 03/07/2019, 16:38 WIB
Kristian Erdianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik menuturkan bahwa saat ini masih terdapat tujuh isu yang belum disepakati dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara DPR dan Pemerintah.

Salah satunya yakni ketentuan soal pemberlakuan hukum yang berlaku dalam masyarakat atau hukum adat di Pasal 2 RUU KUHP.

"Perdebatan yang paling panjang itu sesungguhnya ada di asas legalitas itu. Hukum adat itu," ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019).

Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 2 menyatakan, hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Baca juga: Soal RUU KUHP, YLBHI: Agama Tak Dapat Jadi Subyek Hukum

Erma mengatakan, dalam tim Panja Pemerintah sendiri masih terjadi perdebatan apakah pasal mengenai penerapan hukum yang berlaku dalam masyarakat atau hukum adat perlu diatur dalam RUU KUHP.

Perdebatan juga terjadi soal bagaimana mengukur penerapan hukum adat agar tidak menimbulkan konflik.

Ia mencontohkan ketika ada orang bersuku Aceh melakukan pelanggaran di Papua, apakah hukuman untuk membayar denda adat dengan menggunakan babi bisa diterapkan atau tidak.

"Itu kan ditingkatnya tim pemerintah itu masih tarik menarik. Ada yang mau memasukkan ada yang enggak. Karena kalau mau dimasukkan nanti bagaimana mengukur penerapan sanksi adatnya," kata Erma.

Sebelumnya, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur mengkritik ketentuan pasal 2 RUU KUHP. Ia menilai ketentuan tersebut akan menyimpang dari asas legalitas jika tetap berlaku.

"Hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP menurut pasal 2 ini tetap berlaku. Ini artinya menyimpangi asas legalitas," ujar Isnur saat dihubungi, Selasa (2/7/2019).

Selain itu, menurut Isnur, ketentuan Pasal 2 membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Pasal ini juga pernah dipersoalkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji mengatakan ketentuan Pasal 2 RKUHP sangat berkaitan erat dengan penerbitan Peraturan Daerah (Perda).

Dikhawatirkan pengaturan yang tidak ketat dapat memunculkan Perda yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Baca juga: Pembahasan RUU KUHP Masih Terganjal Tujuh Isu yang Belum Disepakati

Berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 460 Perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, ada 45 Perda yang mendiskriminasi kelompok minoritas dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda.

Keberadaan perda diskriminatif dinilai memunculkan sentimen negatif hingga tindakan kekerasan terhadap kelompok perempuan dan minoritas.

"Meskipun dikatakan 'sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab', ketentuan ini telah membuka celah penerapan hukum seperti yang terlihat dalam perda-perda diskriminatif saat ini," kata Isnur.

Kompas TV Polisi menangkap pria yang mengancam Presiden Joko Widodo lewat video yang viral di media sosial. Pelaku berinisial HS ini dijerat dengan pasal 104 KUHP tentang makar dan terancam hukuman 20 tahun penjara. Lebih lengkap soal penangkapan tersangka pengancam Presiden Jokowi akan ditanyakan langsung kepada Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono. #PenghinaJokowi #PengancamJokowi #PresidenJokowi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Menlu Retno Beri Penjelasan soal Tekanan agar Indonesia Normalisasi Hubungan dengan Israel

Menlu Retno Beri Penjelasan soal Tekanan agar Indonesia Normalisasi Hubungan dengan Israel

Nasional
'One Way', 'Contraflow', dan Ganjil Genap di Tol Trans Jawa Sudah Ditiadakan

"One Way", "Contraflow", dan Ganjil Genap di Tol Trans Jawa Sudah Ditiadakan

Nasional
Kakorlantas Minta Maaf jika Ada Antrean dan Keterlambatan Selama Arus Mudik dan Balik Lebaran 2024

Kakorlantas Minta Maaf jika Ada Antrean dan Keterlambatan Selama Arus Mudik dan Balik Lebaran 2024

Nasional
KPK Sebut Tak Wajar Lonjakan Nilai LHKPN Bupati Manggarai Jadi Rp 29 Miliar dalam Setahun

KPK Sebut Tak Wajar Lonjakan Nilai LHKPN Bupati Manggarai Jadi Rp 29 Miliar dalam Setahun

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, KPU Bawa Bukti Tambahan Formulir Kejadian Khusus Se-Indonesia

Serahkan Kesimpulan ke MK, KPU Bawa Bukti Tambahan Formulir Kejadian Khusus Se-Indonesia

Nasional
Tim Hukum Anies-Muhaimin Serahkan 35 Bukti Tambahan ke MK

Tim Hukum Anies-Muhaimin Serahkan 35 Bukti Tambahan ke MK

Nasional
PPP Siap Gabung, Demokrat Serahkan Keputusan ke Prabowo

PPP Siap Gabung, Demokrat Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
PDI-P Jaring Nama Potensial untuk Pilkada DKI 2024, yang Berminat Boleh Daftar

PDI-P Jaring Nama Potensial untuk Pilkada DKI 2024, yang Berminat Boleh Daftar

Nasional
Hasto Sebut 'Amicus Curiae' Megawati Bukan untuk Intervensi MK

Hasto Sebut "Amicus Curiae" Megawati Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Iran Serang Israel, Jokowi Minta Menlu Retno Upayakan Diplomasi Tekan Eskalasi Konflik Timur Tengah

Iran Serang Israel, Jokowi Minta Menlu Retno Upayakan Diplomasi Tekan Eskalasi Konflik Timur Tengah

Nasional
Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Gubernur BI Pastikan Akan Ada Intervensi

Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Gubernur BI Pastikan Akan Ada Intervensi

Nasional
PDI-P Dukung PPP Lakukan Komunikasi Politik supaya 'Survive'

PDI-P Dukung PPP Lakukan Komunikasi Politik supaya "Survive"

Nasional
PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PAN: Jangan Cuma Bicara, tapi Akui Kemenangan 02

PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PAN: Jangan Cuma Bicara, tapi Akui Kemenangan 02

Nasional
Kesimpulan Tim Ganjar-Mahfud: Jokowi Lakukan Nepotisme dalam 3 Skema

Kesimpulan Tim Ganjar-Mahfud: Jokowi Lakukan Nepotisme dalam 3 Skema

Nasional
Diduga Terima Gratifikasi Rp 10 M, Eko Darmanto Segera Disidang

Diduga Terima Gratifikasi Rp 10 M, Eko Darmanto Segera Disidang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com