Dengan demikian, terdapat lima partai pendukung pemerintah dan empat partai oposisi di parlemen.
Menurut Mardani, keberadaan oposisi tetap dibutukan dalam sebuah negara demokrasi. Meski sistem presidensial yang dianut Indonesia tidak mengenal istilah oposisi.
Menurut Mardani, peran oposisi tetap dibutuhkan dalam sebuah sistem demokrasi. Meski, sistem presidensial yang dianut Indonesia tak mengenal istilah oposisi.
Peran oposisi tetap dibutuhkan sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah. Artinya oposisi berperan sebagai sistem kontrol terhadap seluruh program dan kebijakan pemerintah.
"Akan menjadi sangat sehat bagi demokrasi kita ketika ada pemerintah yang efektif tapi dikontrol oleh oposisi yang kritis dan konstruktif. Karena itu menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif adalah pekerjaan yang mulia karena menjaga kepentingan publik," kata Mardani.
Hal senada diungkapkan oleh pakar hukum tata negara dari IPDN, Juanda. Ia berpendapat bahwa peran oposisi sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah tak akan efektif jika hanya tersisa dua partai, yakni Partai Gerindra dan PKS.
"Ini ada gejala indikasi dua atau tiga (parpol) akan bergerak ke tempat yang lain (mendukung pemerintah). Sehingga kalau ini terjadi saya kira akan tinggal dua, Gerindra dan PKS. Kalau misalnya tinggal dua (parpol) saya kira ini akan sangat tidak balance," ujar Juanda.
Jika PAN dan Demokrat mengalihkan dukungan, maka ada 7 parpol di parlemen yang akan mendukung pemerintah Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024.
Sedangkan hanya ada dua parpol, yakni Gerindra dan PKS, yang menjadi oposisi.
Baca juga: Jika Hanya Gerindra dan PKS, Fungsi Oposisi Dinilai Tak Akan Efektif
Berdasarkan persentase hasil Pileg 2019, kekuatan dukungan parlemen terhadap pemerintah menjadi 78 persen dan oposisi hanya memiliki kekuatan sebesar 22 persen.
Menurut Juanda, kekuataan oposisi sebesar 22 persen tidak akan berimbang dan efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Juanda mengatakan, dalam sebuah negara demokrasi, peran oposisi sangat diperlukan.
Keberadaan oposisi dibutuhkan untuk mengontrol dan mengawasi seluruh kebijakan serta program pemerintah.
"Bisa jadi nanti ketika ini akan memutuskan tentang kebijakan pemerintah Pak Jokowi ke depan, mungkin ada yang kurang tepat, ini tidak efektif kalau 22 persen ini mengontrol atau melawan 78 persen. Sebab bagaimanapun akan berujung di DPR. Harus ada kontrol politik dari parlemen," kata Juanda.
Juanda mengatakan, peran oposisi harus tetap dijalankan oleh partai politik non-pendukung pemerintah.