Aplikasi Sasak menggabungkan antara aplikasi panic button dengan mekanisme pembuatan SIM dan SKCK online.
Secara teknis masyarakat dapat langsung lapor dengan memencet tombol panik di ponsel jika menjadi korban atau melihat tindak kejahatan maupun kecelakaan, Polres akan menghubungi dan segera mengirimkan anggota yang berada paling dekat dengan lokasi kejadian.
Polres juga telah membuat database e-bhabinkamtibmas untuk menampung laporan baik kegiatan anggota maupun adanya potensi konflik di 193 desa secara real time, sehingga potensi yang ada dapat secara cepat diredam melalui langkah-langkah pencegahan yang langsung dipimpin oleh kapolres.
Teknologi juga dimanfaatkan untuk mempercepat koordinasi dan deteksi dini potensi keamanan wilayah, serta memetakan daerah rawan, sehingga anggota dapat difokuskan untuk berpatroli di wilayah rawan.
Dengan ini, kinerja Polres Lombok Tengah tetap mumpuni kendati personelnya terbatas, dan menjadi salah satu faktor Polres Lombok Tengah mendapatkan peringkat terbaik kedua Indeks Tata Kelola Kepolisian tipe rawan konflik (ITK 2017).
Tantangannya kemudian adalah keberlanjutan inovasi, terlebih setelah berganti kepemimpinan dan rotasi anggota, karena tidak semua memiliki komitmen besar serta pengetahuan terkait teknologi.
Inovasi dan tantangan serupa juga dialami oleh banyak Polres, untuk itu dibutuhkan dukungan dari pusat dengan membuat kebijakan peta jalan penggunaan teknologi informasi di lingkungan Polri, serta menyediakan pendidikan kejuruan dan pelatihan seputar teknologi informasi.
Kedua, modernisasi culture set anggota Polri. Salah satu perubahan mendasar yang harus terus dilakukan adalah mengubah paradigma, dari seorang prajurit (warriors) yang kerap menggunakan pendekatan eksekusi menjadi penjaga (guardians) yang mengedepankan pelayanan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat atau pendekatan pencegahan.
Kurikulum pendidikan yang ada di Polri menjadi salah satu pintu masuk paling strategis untuk mengubah paradigma.
Penambahan isu-isu yang menjadi perhatian publik seperti governance, antikorupsi, hak asasi manusia, gender serta pelayanan publik harus mendapatkan porsi yang besar dan di mainstream ke seluruh level jenjang pendidikan dan pelatihan di Polri, terutama pendidikan Bintara dan Tamtama, mengingat mereka ujung tombak pelayanan Polri dan langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Penting juga untuk mengubah metode pendidikan dan pelatihan dengan lebih fokus pada pembinaan mental dibanding fisik, sebagai upaya mencegah timbulnya tekanan psikologis anggota dalam menghadapi beragam karakter masyarakat yang dilayaninya.
Ketiga, perubahan mindset, salah satunya sistem jenjang karir –terutama pada jabatan strategis– yang masih abu-abu dan cenderung mendasarkan kedekatan pada pimpinan. Publik berharap Polri dapat melakukan lelang jabatan secara terbuka-–sesuai amanat UU ASN–-di internal Kepolisian untuk mendapatkan the right man on the right job.
Praktik ini pernah berhasil dilakukan oleh Polda Kalimantan Barat di bawah pimpinan Brigjen Pol Arif Sulistiyono beberapa tahun lalu untuk mengisi jabatan strategis seperti Kapolsek, Kasat, dan Kabag, dan mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Pembenahan jenjang karir juga dapat dilakukan melalui pengukuran kinerja Polri yang menyeluruh. Menurut hasil penelitian Malcolm K. Sparrow dari Universitas Hardvard (New Perspective in Policing, 2015), umumnya ukuran pencapaian kinerja polisi di seluruh negara hanya berkutat pada indikator jumlah kasus yang ditangani dan penurunan tingkat kejahatan.
Hal ini menciptakan persaingan kurang sehat di tubuh Polri, di mana cenderung memberikan penghargaan kepada anggota yang berhasil membongkar kasus-kasus besar dan mengesampingkan mereka yang dengan tugas dan fungsinya berhasil mencegah terjadinya kejahatan.