JAKARTA, KOMPAS.com - Ditetapkannya kembali mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin sebagai tersangka, agar menjadi pelajaran bagi kepala daerah dan jajarannya di daerah lain untuk menjauhi korupsi.
Rachmat sebelumnya terjerat kasus suap terkait dengan rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di Bogor, Jawa Barat pada tahun 2014. Dalam kasus itu, Rachmat divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung selama lima tahun enam bulan penjara.
Baca juga: KPK Kembali Tetapkan Mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin sebagai Tersangka
Kini ia menjadi tersangka lantaran memotong dana kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan menerima gratifikasi tanah seluas 20 hektar serta Toyota Vellfire senilai Rp 825 juta.
"KPK mengingatkan kembali agar kasus ini menjadi pembelajaran bagi para kepala daerah agar tidak menyalahgunakan wewenang, baik dalam bentuk penerimaan langsung yang transaksional ataupun perbuatan mewajibkan aparatur daerah untuk menyetorkan uang dengan berbagai alasan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Febri menyinggung dugaan Rachmat menerima uang sebesar Rp 8.931.326.223 dengan memotong dana kegiatan SKPD.
Baca juga: Keluar dari Lapas Sukamiskin, Mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin Sujud Syukur
Setelah menjabat sebagai Bupati Bogor pada awal tahun 2009, Rachmat diduga beberapa kali melakukan pertemuan secara formal dan informal dengan para SKPD di Kabupaten Bogor.
"Dalam pertemuan tersebut, RY menyampaikan kebutuhan dana di luar pembiayaan APBD yang harus dipenuhi oleh Bupati, khususnya operasional Bupati dan biaya pencalonan kembali," kata Febri.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, Rachmat meminta para kepala dinas di bawah kepemimpinannya untuk membantu dirinya memenuhi hal tersebut.
Baca juga: Rachmat Yasin Resmi Mengundurkan Diri sebagai Bupati Bogor
Rachmat menginstruksikan setiap SKPD menyetor sejumlah dana kepadanya.
Sumber dana yang dipotong diduga berasal dari honor kegiatan pegawai, dana insentif struktural SKPD, dana insentif jasa pelayanan RSUD, upah pungut, pungutan kepada pihak yang mengajukan perizinan, dan pungutan kepada pihak rekanan yang memenangkan tender.
"Tindakan seperti ini justru dapat mendorong efek domino korupsi di daerah. Sehingga dapat berakibat pada pemotongan uang honorarium pegawai, pungutan liar ke masyarakat dalam pelayanan publik ataupun rekayasa laporan keuangan untuk mencari pembenaran setoran ke atasan," kata Febri.