Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Nurcholis

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok. Kandidat Master Politik Internasional Universitas Shandong, China. Menyelesaikan S-1 di Departemen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

Membangun Partai Politik Terpercaya Pasca-Pemilu

Kompas.com - 24/06/2019, 09:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


PARTAI politik, meminjam istilah Hegel, bisa dibilang ‘geist’ atau ruh yang berperan mempengaruhi kualitas demokrasi. Maka tidak salah bila kemudian Clinton Rossiter, seorang ilmuwan politik mengatakan “tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”.

Sebagai ruh yang memberi nyawa bagi demokrasi, eksistensi partai amat penting. Mereformasi partai berarti linear dengan upaya memperbaiki kualitas demokrasi.

Satu alasan paling krusial mengapa eksistensi partai vital bagi rezim demokrasi karena dengan partai, segala kepentingan politik rakyat yang beragam dapat diartikulasikan melalui mekanisme perwakilan.

Representasi politik merupakan sarana demi melembagakan lintas pendapat yang berseberangan, supaya mampu menghasilkan keputusan yang legitimate dan diterima publik (Roy C Maridris, 1967). Dengan keberadaan partai, konflik bisa diminimalkan, ragam kepentingan dapat diagregasi, dan nilai-nilai demokrasi substansial dapat diwujudkan.

Harapan pasca-Pemilu

Munculnya parpol yang terpercaya pasca-pemilu 2019, paling tidak menjadi harapan publik karena dua hal.

Pertama, ongkos politik yang mahal harus dibayar adil dengan hadirnya elite-elite dengan komitmen kerakyatan, yang teguh mengartikulasi ragam aspirasi baik dalam bentuk program kebijakan maupun undang-undang yang berpihak. Kedua, jejak-jejak buruk pengkhianatan partai pada rakyat di masa silam tidak lagi terulang.   

Singkatnya, setelah estafet politik panjang nan melelahkan, yang hingga saat ini bahkan prosesnya masih berjalan, partai diharapkan hadir dengan nafas baru.

Khususnya  komitmen mereka terhadap fungsi kepartaian, seperti tugas perwakilan, rekrutmen, artikulasi kepentingan, perumusan tujuan, sosialisasi-mobilisasi, dan pengorganisasian pemerintahan (Andrew Heywood, 2014).

Selama ini, tingkat kepercayaan publik terhadap partai begitu rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan Indikator Politik pada tahun 2016, partai politik merupakan lembaga dengan rating paling bawah tingkat kepercayaannya, dengan persentase hanya berkisar 39.2 persen. Bandingkan dengan KPK yang mencapai 79.6 persen.

Sebab itu, peneguhan kembali fungsi kepartaian pasca-pemilu 2019 menjadi kebutuhan prioritas guna mengikis sinisme publik berkepanjangan.

Paling tidak ada empat prasyarat pokok untuk dibenahi agar parpol mampu menjadi lembaga publik terpercaya pasca-pemilu 2019.

Mengakhiri korupsi

Pertama, paling penting, tentu komitmen partai terhadap pemberantasan korupsi di tubuh mereka. Maraknya korupsi yang menjerat partai, berkorelasi dan berkelindan dengan degradasi kepercayaan publik.

Stigma masyarakat melulu jelek bila merujuk partai. Partai, dalam konstruksi kognisi rakyat, diimajikan bak markas pemburu rente. Kasus korupsi, menyumbang persepsi buruk terbesar publik akan eksistensinya.

Sepanjang kasus yang ditangani KPK, korupsi tidak hanya dilandasi motif pribadi kader, namun juga lembaga.

Dalam kasus Eni Saragih (Bendahara Golkar) dan Sunjaya Purwadisastra (Bupati Cirebon), yang beritanya mengemuka beberapa waktu lalu, KPK menemukan hasil korupsi keduanya mengalir untuk kebutuhan operasional partai.

Eni Saragih mengafirmasi uang korupsi proyek PLTU Riau digunakan untuk membiayai munaslub Golkar.

Sementara Sunjaya Purwadisastra mengaku, uang korupsi yang ia dapat disumbang guna menunjang kegiatan P-DIP, tempat dia bernaung.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

Dua kasus tersebut hanya miniatur dari daftar panjang kasus yang semakin mengukuhkan stereotip dan citra buruk partai di masyarakat. Partai, bukan saja bermasalah secara orang per orang, namun juga manajemen pengelolaan institusi secara keseluruhan.

Selain membuktikan bahwa sistem manajemen keuangan partai masih kacau, kasus Eni dan Sunjaya tampak paradoks.

Mulanya, kita lazim mendengar, kecilnya dana subsidi parpol kerap menjadi alasan elite atas maraknya korupsi yang membelit mereka. Elite bersikukuh partai sering kali kekurangan dana membiayai kebutuhan operasional. Alasan-alasan ini mereka pakai sebagai pembelaan.

Hal ini paradoks karena pada tahun 2018 Presiden Jokowi telah mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.

PP ini telah melipatgandakan subsidi keuangan parpol sepuluh kali lipat lebih besar, dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara.

Harusnya, bila bersandar pada argumen-argumen elite tentang kecilnya dana parpol, parpol tak lagi mencari sumber pendanaan di luar praktik lazim yang diatur dalam UU lewat beragam modus korupsi.

Praktik lazim yang dimaksud UU misalnya sumbangan dari perseorangan bukan anggota sebesar Rp 1 miliar dan sumbangan perusahaan sebesar Rp 7,5 miliar. Hal ini diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.

Belajar dari Spanyol

Persoalan korupsi di tubuh parpol perlu diakhiri supaya publik tidak semakin menaruh antipati kepada partai. Pengalaman kasus korupsi yang menerpa pengusaha kuat Spanyol, Fransisco Correa beserta jejaring politiknya di Partai Rakyat (People’s Party) yang dikenal dengan “Kasus Gurtel” pada 2009 silam bisa dijadikan pelajaran (The Guardian, 1/3/2019).

Kasus ini sebetulnya jamak di Indonesia, di mana entitas swasta berkomplot dengan elite politik dengan iming-iming feedback saling menguntungkan.

Namun yang menarik dari kasus ini adalah ketidakpercayaan rakyat yang muncul pasca-skandal, tidak hanya berhasil menggerogoti partai, namun berkecambah ke lembaga-lembaga publik lainnya. Peluang yang sama tetap terbuka terjadi di Indonesia.   

Merujuk sebuah laporan yang ditulis The Guardian dengan headline “Spain’s Watergate: inside the corruption scandal that changed a nation,” persekongkolan Correa dengan para petinggi Partai Rakyat (PP) terungkap setelah kawan dekatnya, José Luis Peñas, yang idealis mendokumentasikan perilaku korup dirinya melalui sebuah kaset perekam yang dia kumpulkan secara sembunyi-sembunyi selama berbulan-bulan.

Padahal mereka adalah dua karib yang amat lekat. Kedekatan antara dua kawan yang kemudian berseteru ini tampak dari panggilan anak perempuan Correa kepada Peñas dengan sebutan tio pepe (paman Pepe).

Saking kompleksnya “Kasus Gurtel,” sebab melibatkan hampir 37 orang penting, termasuk para politisi; bendahara Partai Rakyat (PP), mantan walikota, mantan anggota parlemen, beberapa dewan kota, serta penasihat partai.

Untuk menyelesaikan kasusnya, pengadilan Spanyol perlu waktu bertahun-tahun persidangan. Menjadikan kasus Correa sebagai kasus paling menggemparkan jagat Spanyol.

Implikasi atas kasus yang menimpa Correa, yang dijuluki Don Vito - bos mafia dalam cerita God Father - itu telah membuat kepercayaan publik Spanyol runtuh. Bukan saja kepada Partai Rakyat yang banyak dibantu lewat sokongannya, namun menjalar, berakibat lebih fatal dengan peristiwa penggulingan Perdana Menteri mereka, Mariano Rajoy.

Hal ini terjadi setelah kekuatan Partai Sosialis di parlemen menggulirkan mosi tidak percaya atas pemerintahan Rajoy yang merupakan pemimpin Partai Rakyat (PP).

Di sisi lain, ketidakpercayaan atas imbas skandal Correa dan Partai Rakyat malah semakin memperkuat alasan politik kelompok separatisme di Catalunya untuk berpisah dan merdeka.

Bendera Spanyol robek.SHUTTERSTOCK Bendera Spanyol robek.

Parahnya lagi, epidemi krisis ekonomi global yang menimpa Spanyol yang waktunya beriringan dengan skandal korupsi juga telah memantik petaka baru. Publik mulai melampiaskan ketidakpercayaan mereka kepada bank-bank di Spanyol, pranata dan lembaga ekonomi penting negara.

Padahal sebelum skandal korupsi dan krisis meletus, tingkat kepuasan masyarakat Spanyol terhadap sistem politiknya merupakan salah satu yang tertinggi di eropa, hanya tertinggal dari Denmark, Luksemburg, dan Finlandia (The Guardian, 1/3/2019).

Kasus Correa dan Partai Rakyat di Spanyol, paling tidak memberikan gambaran kepada kita bahwa kepercayaan publik berkonsekuensi mahal untuk dikhianati. Harapannya, kader-kader partai yang melenggang maju ke parlemen dan menempati pos-pos eksekutif pasca-pemilu 2019, tidak lagi menduplikasi praktik-praktik kotor di masa lalu.

Sebab, dengan masih bertahannya praktik KKN, bukan hanya akan memperpanjang stigma buruk partai di Indonesia, namun publik pun patut mempertanyakan kembali nasib subsidi parpol yang berasal dari negara. Apalagi jumlah kursi  DPR, DPRD Provinsi maupun Kabupaten (di beberapa daerah) untuk pemilu kali ini terjadi peningkatan.

Artinya akan ada distribusi keuangan yang juga bertambah lewat konversi suara yang dihasilkan dalam postur APBN/APBD kita kepada partai-partai politik di semua level. Untuk DPR sendiri, jumlahnya bertambah 15 kursi. Dari semula 560 menjadi 575 kursi.  Sementara untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten bertambah dari 19.007 kursi pada pemilu 2014 menjadi 19.817 kursi pada tahun 2019 (Kompas, 18/04/2018).

Di sisi lain, kesangsian kita kepada partai masih bertahan hingga kini karena selama ini kita tidak pernah menyaksikan bahwa subsidi parpol digunakan untuk menopang pengembangan pendidikan politik masyarakat sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Kita butuh mekanisme pengawasan keuangan partai yang memberikan keyakinan bahwa dana tersebut sesuai peruntukan. Memang cara paling sederhana mengawasi sistem keuangan partai yakni melalui laporan keuangan yang mereka publikasikan lewat website.

Sayangnya, untuk hal sederhana ini, berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk tahun 2017, hanya satu partai, Partai Gerindra, yang melampirkan laporan audit keuangannya. Ini mengindikasikan parpol masih tidak transparan, mereka masih menutup-nutupi hak publik untuk tahu.

Karena itu, supaya menjadi organisasi publik terpercaya, partai harus menjaga komitmen transparansi mereka bagi akses informasi publik. Internal parpol wajib membuka sistem keuangan mereka lebih transparan agar publik dapat bersama-sama terlibat mengawasi dana masuk dan keluar secara berkala.

Carut-marut sistem keuangan parpol didasarkan pada fakta tidak adanya mekanisme sistem pembukuan keuangan dan pengawasan internal parpol yang rigid, alih-alih akses publik ke tubuh parpol.

Padahal UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebenarnya telah mewajibkan seluruh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah yang seluruh atau sebagian dananya dibiayai APBN/APBD, untuk membuka akses informasi publik secara transparan, termasuk partai politik.

Dewan pemalas

Kedua, publik menanti ketegasan parpol atas performa kadernya di parlemen. Selama masa bakti DPR 2014-2019, rakyat diatraksikan dewan-dewan yang malas.

Performa  DPR masa bakti 2014-2019 begitu buruk. Berita soal dewan-dewan yang bolos dan absen sewaktu sidang sudah tak asing di telinga publik. Bahkan Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) mencap dewan periode 2014-2019 sebagai dewan terburuk sepanjang era reformasi di Indonesia.  

Labelisasi parlemen terburuk yang disematkan Lucius bukan tanpa alasan. Bukti-bukti ini bisa ditelusuri lewat hasil pemantauan Formappi di mana pada tahun 2017, DPR hanya mengesahkan 6 RUU dari 52 RUU yang ditargetkan.

Sementara pada 2018 mereka hanya mampu menyelesaikan 5 undang-undang dari 50 undang-undang yang diprioritaskan.

Buruknya kinerja parlemen periode lalu juga tampak dari sisi kualitas UU yang dihasilkan. UU yang menjadi kebutuhan prioritas publik sering diabaikan. Impresi dewan kita semata-mata responsif tatkala berurusan dengan RUU yang beririsan langsung dengan kepentingannya namun acuh dan lamban terhadap RUU di luar interest mereka.

Suasana Rapat Paripurna ke 10 Masa Persidangan II, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/12/2018).KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Suasana Rapat Paripurna ke 10 Masa Persidangan II, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/12/2018).

Hal ini bisa dibuktikan dari terselesaikannya UU MD3 namun mandek dalam proses pengerjaan RUU Migas. Hingga kini, RUU Migas nasibnya masih terkatung-katung. Padahal eksistensi RUU ini menjadi kebutuhan mendesak guna menopang kepastian hukum dalam menyangga ketahanan energi nasional. 

Berdasarkan pantauan penulis selama masih bekerja di Indonesia Parliamentary Center (IPC), dengan gagal diperundangkannya RUU ini pada periode ini, maka RUU Migas telah genap dua kali gagal disahkan dalam dua masa periode DPR yang berbeda.

Sebagaimana kegagalan pertama telah dialami pada periode DPR sebelumnya, 2009-2014.  Tentunya hal ini menambah daftar kelam kinerja DPR, dengan sederet RUU yang selalu mangkrak dari tahun ke tahun.

Karena itu, sangat penting bagi parpol untuk mereformasi sistem pengawasan kinerja internal kader. Merealisasikan kembali hakikat tugas dan fungsi kepartaian dalam manifestasi kerja kader di parlemen menjadi harga yang tak bisa ditawar.

Partai mesti mendorong progresivitas kerja kader. Memberikan sanksi tegas dan memperketat kontrol bagi kadernya yang tidak menjalankan fungsi legislasi secara maksimal di parlemen.

Suara rakyat dalam pemilu 2019 adalah amanat pendelegasian yang wajib ditunaikan. Mengawal performa kader begitu urgen bagi parpol agar kelak rakyat tetap percaya pada perhelatan musim pemilu berikutnya.    

Profesionalitas lembaga

Ketiga, membangun profesionalitas lembaga. Membangun profesionalitas lembaga dimaksudkan agar parpol lebih terorganisir dalam mengurus rumah tangganya. Perlu dibangun sumber daya manusia yang terlatih dan profesional dalam tubuh parpol.

Dalam hal pengelolaan keuangan, langkah ini bisa ditempuh misalnya dengan menempatkan ahli akuntansi dalam struktur manajerial partai. Pengelolaan anggaran parpol mensyaratkan kompetensi ahli dan kalangan profesionalitas agar sistem keuangan parpol terurus dengan baik.

Rincian kegiatan yang hendak dilaksanakan parpol dalam satu tahun ke depan detail beserta alokasi anggarannya pun harus jelas. Parpol selama ini terkesan sekadar menjadi organisasi abal-abal yang diisi oleh komplotan politisi,tanpa perencanaan dan aturan, alih-alih platform yang jelas. Parpol kehilangan arah, hanya sibuk menjelang pemilu atau konferensi jelang pemilihan pimpinan.

Dari sisi program, profesionalitas partai harapannya diwujudkan melalui realisasi kegiatan dalam rangka meningkatkan pendidikan politik para kader dan masyarakat.

Dapatlah digambarkan partai menjadi semacam universitas politik. Partai menjadi garda terdepan yang mendidik sekaligus mendorong partisipasi dan peran aktif politik rakyat. Sehingga program-program riil pendidikan politik sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, seperti pendalaman empat pilar kebangsaan, pemahaman warga atas hak dan kewajiban, serta kaderisasi anggota nantinya berdampak pada meningkatnya kualitas demokrasi.

Dengan profesionalitas lembaga semacam ini, parpol diharapkan perlahan-lahan menggeser paradigmanya. Dari partai pragmatik menuju partai berbasis program, berdasarkan platform dan gagasan besarnya.

Ilustrasi.SHUTTERSTOCK Ilustrasi.

Sehingga, pragmatisme parpol yang menjadi biang bencana korupsi, sebab ideologi partai yang luhur yang semestinya mengikat pegangan idealisme sering diabaikan, perlahan bisa dihilangkan.

Realisasi program politik berdasarkan platform partai juga memungkinkan partai menumbuhkan identitas (party id) para simpatisannya. Pembentukan identitas semacam ini selanjutnya membuka peluang sumber pendanaan baru melalui sumbangan sukarela para simpatisan loyal supaya parpol mampu lebih mandiri.

Sehingga, parpol tidak lagi menggantungkan diri pada tuan-tuan kaya, yang memanfaatkan modal material sebagai basis sumber daya kekuaasaan politik paling efektif (Jeffrey Winters, 2013).

Selama ini parpol memang tidak dapat dilepaskan dari cengkeraman para oligarki. Masuknya para oligarki di tubuh parpol menambah masalah baru. Selain membuat mekanisme pengambilan keputusan parpol lebih bersifat personal-elite dibandingkan mengedepankan asas konsensus bersama, gelombang hijrahnya para tuan kaya ke banyak parpol juga menjadikan parpol sebagai alat artifisial kekuasaannya.

Parpol dianggap memiliki peran besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan pengaruh tersebut berguna dalam rangka menjaga aset mereka.

Memperkecil sepang terjang para oligarki di tubuh parpol sama halnya dengan membuat sistem pengambilan keputusan di dalam parpol lebih demokratis serta menjauhkannya dari praktik-praktik rente.

Tidak sedikit fakta di lapangan, di kongres-kongres besar partai, keputusan hanya disandarkan pada elite-elite penting tertentu. Hal ini karena partai dipersonifikasi sebagai milik pemodal yang memiliki kontribusi besar pada partai.

Inklusif

Keempat, pasca-pemilu 2019, parpol diharapkan lebih inklusif, memperpendek jarak dengan massa, non- elitis, serta menumbuhkan sikap altruis mereka. Atau setidaknya peka dengan masalah rakyat.

Selama ini keberadaan parpol sebagai entitas politik masih bisa ditafsirkan berjarak dengan rakyat. Parpol seperti menjadi bagian yang terasing dari kehidupan riil publik. Ini ambivalen, sebab politik dan publik merupakan dua hal tak terpisahkan.

Masa reses yang sering kali digunakan kader partai untuk berkunjung dan menampung aspirasi, tidak mampu menghilangkan sifat eksklusivisme partai. Alih-alih, banyak di antaranya bahkan hanya melakukan kunjungan fiktif belaka.

Sebagaimana kasus ini sempat heboh pada tahun 2016 saat BPK menginvestigasi beberapa temuan laporan fiktif kunjungan kerja perseorangan anggota DPR yang angka kerugiannya mencapai Rp 900 miliar (Kompas, 12/05/2016).

Bukti ini menunjukkan, partai masih menjadi dunia lain yang berada di pucuk menara gading. Rakyat, semata-mata sekadar wayang yang digerakkan di musim-musim pemilu namun diabaikan dalam episode selanjutnya. Partai tidak sungguh-sungguh menunaikan fungsi perwakilannya.

Padahal, publik hafal betul, bila musim pemilihan tiba, partai akan datang dengan berbondong-bondong, bergantian dari satu partai ke partai yang lain, meneror rakyat dengan kampanye dan narasi-narasi pembangunan.

Ekslusivisme dan egoisme parpol harus dihilangkan. Partai adalah satu-satunya katalisator kepentingan rakyat yang memiliki akses langsung dalam hierarki struktur bernegara.

Karena itu, tidak akan pernah mengetahui kebutuhan rakyat secara riil bila partai tidak pernah turun ke masyarakat bawah. Dan tidak akan pernah turun ke masyarakat bawah apabila partai masih acuh terhadap fungsi dan eksistensinya.

Meski musim politik telah berakhir, sebaiknya kita melupakan euforia, dan bersiap-siap untuk balik fokus mengawal kinerja parpol kita. Dalam tubuh parpol, ada uang dan amanat yang kita delegasikan!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintah Bakal Bentuk Satgas Pemberantasan Judi 'Online' Pekan Depan

Pemerintah Bakal Bentuk Satgas Pemberantasan Judi "Online" Pekan Depan

Nasional
Ketua KPU Diadukan Lagi ke DKPP, Diduga Goda Anggota PPLN

Ketua KPU Diadukan Lagi ke DKPP, Diduga Goda Anggota PPLN

Nasional
KPK Duga Anggota DPR Ihsan Yunus Terlibat Pengadaan APD Covid-19

KPK Duga Anggota DPR Ihsan Yunus Terlibat Pengadaan APD Covid-19

Nasional
Projo Sebut Kemungkinan Prabowo Jadi Jembatan untuk Pertemuan Jokowi-Megawati

Projo Sebut Kemungkinan Prabowo Jadi Jembatan untuk Pertemuan Jokowi-Megawati

Nasional
Pakar Sebut Hakim MK Mesti Pertimbangkan Amicus Curiae Meski Bukan Alat Bukti

Pakar Sebut Hakim MK Mesti Pertimbangkan Amicus Curiae Meski Bukan Alat Bukti

Nasional
Bareskrim: 2 Oknum Karyawan Lion Air Akui Selundupkan Narkoba 6 Kali, Diupah Rp 10 Juta Per 1 Kg

Bareskrim: 2 Oknum Karyawan Lion Air Akui Selundupkan Narkoba 6 Kali, Diupah Rp 10 Juta Per 1 Kg

Nasional
Sekjen PDI-P: Otto Hasibuan Mungkin Lupa Pernah Meminta Megawati Hadir di Sidang MK

Sekjen PDI-P: Otto Hasibuan Mungkin Lupa Pernah Meminta Megawati Hadir di Sidang MK

Nasional
Peduli Kesejahteraan Masyarakat, PT Bukit Asam Salurkan Bantuan Rp 1 Miliar ke Masjid hingga Panti Asuhan di Lampung

Peduli Kesejahteraan Masyarakat, PT Bukit Asam Salurkan Bantuan Rp 1 Miliar ke Masjid hingga Panti Asuhan di Lampung

Nasional
Di Universität Hamburg Jerman, Risma Ceritakan Kepemimpinannya Sebagai Walkot dan Mensos

Di Universität Hamburg Jerman, Risma Ceritakan Kepemimpinannya Sebagai Walkot dan Mensos

Nasional
Kubu Prabowo Anggap 'Amicus Curiae' Sengketa Pilpres sebagai Bentuk Intervensi kepada MK

Kubu Prabowo Anggap "Amicus Curiae" Sengketa Pilpres sebagai Bentuk Intervensi kepada MK

Nasional
Sidang Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Dituntut 3 Tahun 5 Bulan Penjara

Sidang Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Dituntut 3 Tahun 5 Bulan Penjara

Nasional
Ajukan 'Amicus Curiae', Arief Poyuono Harap MK Tolak Sengketa Pilpres

Ajukan "Amicus Curiae", Arief Poyuono Harap MK Tolak Sengketa Pilpres

Nasional
Optimistis Pertemuan Prabowo-Megawati Berlangsung, Gerindra Komunikasi Intens dengan PDI-P

Optimistis Pertemuan Prabowo-Megawati Berlangsung, Gerindra Komunikasi Intens dengan PDI-P

Nasional
Dibantu Tony Blair Institute, Indonesia Percepat Transformasi Layanan Digital Pemerintah

Dibantu Tony Blair Institute, Indonesia Percepat Transformasi Layanan Digital Pemerintah

Nasional
Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com