Partai mesti mendorong progresivitas kerja kader. Memberikan sanksi tegas dan memperketat kontrol bagi kadernya yang tidak menjalankan fungsi legislasi secara maksimal di parlemen.
Suara rakyat dalam pemilu 2019 adalah amanat pendelegasian yang wajib ditunaikan. Mengawal performa kader begitu urgen bagi parpol agar kelak rakyat tetap percaya pada perhelatan musim pemilu berikutnya.
Ketiga, membangun profesionalitas lembaga. Membangun profesionalitas lembaga dimaksudkan agar parpol lebih terorganisir dalam mengurus rumah tangganya. Perlu dibangun sumber daya manusia yang terlatih dan profesional dalam tubuh parpol.
Dalam hal pengelolaan keuangan, langkah ini bisa ditempuh misalnya dengan menempatkan ahli akuntansi dalam struktur manajerial partai. Pengelolaan anggaran parpol mensyaratkan kompetensi ahli dan kalangan profesionalitas agar sistem keuangan parpol terurus dengan baik.
Rincian kegiatan yang hendak dilaksanakan parpol dalam satu tahun ke depan detail beserta alokasi anggarannya pun harus jelas. Parpol selama ini terkesan sekadar menjadi organisasi abal-abal yang diisi oleh komplotan politisi,tanpa perencanaan dan aturan, alih-alih platform yang jelas. Parpol kehilangan arah, hanya sibuk menjelang pemilu atau konferensi jelang pemilihan pimpinan.
Dari sisi program, profesionalitas partai harapannya diwujudkan melalui realisasi kegiatan dalam rangka meningkatkan pendidikan politik para kader dan masyarakat.
Dapatlah digambarkan partai menjadi semacam universitas politik. Partai menjadi garda terdepan yang mendidik sekaligus mendorong partisipasi dan peran aktif politik rakyat. Sehingga program-program riil pendidikan politik sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, seperti pendalaman empat pilar kebangsaan, pemahaman warga atas hak dan kewajiban, serta kaderisasi anggota nantinya berdampak pada meningkatnya kualitas demokrasi.
Dengan profesionalitas lembaga semacam ini, parpol diharapkan perlahan-lahan menggeser paradigmanya. Dari partai pragmatik menuju partai berbasis program, berdasarkan platform dan gagasan besarnya.
Sehingga, pragmatisme parpol yang menjadi biang bencana korupsi, sebab ideologi partai yang luhur yang semestinya mengikat pegangan idealisme sering diabaikan, perlahan bisa dihilangkan.
Realisasi program politik berdasarkan platform partai juga memungkinkan partai menumbuhkan identitas (party id) para simpatisannya. Pembentukan identitas semacam ini selanjutnya membuka peluang sumber pendanaan baru melalui sumbangan sukarela para simpatisan loyal supaya parpol mampu lebih mandiri.
Sehingga, parpol tidak lagi menggantungkan diri pada tuan-tuan kaya, yang memanfaatkan modal material sebagai basis sumber daya kekuaasaan politik paling efektif (Jeffrey Winters, 2013).
Selama ini parpol memang tidak dapat dilepaskan dari cengkeraman para oligarki. Masuknya para oligarki di tubuh parpol menambah masalah baru. Selain membuat mekanisme pengambilan keputusan parpol lebih bersifat personal-elite dibandingkan mengedepankan asas konsensus bersama, gelombang hijrahnya para tuan kaya ke banyak parpol juga menjadikan parpol sebagai alat artifisial kekuasaannya.
Parpol dianggap memiliki peran besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan pengaruh tersebut berguna dalam rangka menjaga aset mereka.
Memperkecil sepang terjang para oligarki di tubuh parpol sama halnya dengan membuat sistem pengambilan keputusan di dalam parpol lebih demokratis serta menjauhkannya dari praktik-praktik rente.
Tidak sedikit fakta di lapangan, di kongres-kongres besar partai, keputusan hanya disandarkan pada elite-elite penting tertentu. Hal ini karena partai dipersonifikasi sebagai milik pemodal yang memiliki kontribusi besar pada partai.
Keempat, pasca-pemilu 2019, parpol diharapkan lebih inklusif, memperpendek jarak dengan massa, non- elitis, serta menumbuhkan sikap altruis mereka. Atau setidaknya peka dengan masalah rakyat.
Selama ini keberadaan parpol sebagai entitas politik masih bisa ditafsirkan berjarak dengan rakyat. Parpol seperti menjadi bagian yang terasing dari kehidupan riil publik. Ini ambivalen, sebab politik dan publik merupakan dua hal tak terpisahkan.
Masa reses yang sering kali digunakan kader partai untuk berkunjung dan menampung aspirasi, tidak mampu menghilangkan sifat eksklusivisme partai. Alih-alih, banyak di antaranya bahkan hanya melakukan kunjungan fiktif belaka.
Sebagaimana kasus ini sempat heboh pada tahun 2016 saat BPK menginvestigasi beberapa temuan laporan fiktif kunjungan kerja perseorangan anggota DPR yang angka kerugiannya mencapai Rp 900 miliar (Kompas, 12/05/2016).
Bukti ini menunjukkan, partai masih menjadi dunia lain yang berada di pucuk menara gading. Rakyat, semata-mata sekadar wayang yang digerakkan di musim-musim pemilu namun diabaikan dalam episode selanjutnya. Partai tidak sungguh-sungguh menunaikan fungsi perwakilannya.
Padahal, publik hafal betul, bila musim pemilihan tiba, partai akan datang dengan berbondong-bondong, bergantian dari satu partai ke partai yang lain, meneror rakyat dengan kampanye dan narasi-narasi pembangunan.
Ekslusivisme dan egoisme parpol harus dihilangkan. Partai adalah satu-satunya katalisator kepentingan rakyat yang memiliki akses langsung dalam hierarki struktur bernegara.
Karena itu, tidak akan pernah mengetahui kebutuhan rakyat secara riil bila partai tidak pernah turun ke masyarakat bawah. Dan tidak akan pernah turun ke masyarakat bawah apabila partai masih acuh terhadap fungsi dan eksistensinya.
Meski musim politik telah berakhir, sebaiknya kita melupakan euforia, dan bersiap-siap untuk balik fokus mengawal kinerja parpol kita. Dalam tubuh parpol, ada uang dan amanat yang kita delegasikan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.