PARTAI politik, meminjam istilah Hegel, bisa dibilang ‘geist’ atau ruh yang berperan mempengaruhi kualitas demokrasi. Maka tidak salah bila kemudian Clinton Rossiter, seorang ilmuwan politik mengatakan “tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”.
Sebagai ruh yang memberi nyawa bagi demokrasi, eksistensi partai amat penting. Mereformasi partai berarti linear dengan upaya memperbaiki kualitas demokrasi.
Satu alasan paling krusial mengapa eksistensi partai vital bagi rezim demokrasi karena dengan partai, segala kepentingan politik rakyat yang beragam dapat diartikulasikan melalui mekanisme perwakilan.
Representasi politik merupakan sarana demi melembagakan lintas pendapat yang berseberangan, supaya mampu menghasilkan keputusan yang legitimate dan diterima publik (Roy C Maridris, 1967). Dengan keberadaan partai, konflik bisa diminimalkan, ragam kepentingan dapat diagregasi, dan nilai-nilai demokrasi substansial dapat diwujudkan.
Munculnya parpol yang terpercaya pasca-pemilu 2019, paling tidak menjadi harapan publik karena dua hal.
Pertama, ongkos politik yang mahal harus dibayar adil dengan hadirnya elite-elite dengan komitmen kerakyatan, yang teguh mengartikulasi ragam aspirasi baik dalam bentuk program kebijakan maupun undang-undang yang berpihak. Kedua, jejak-jejak buruk pengkhianatan partai pada rakyat di masa silam tidak lagi terulang.
Singkatnya, setelah estafet politik panjang nan melelahkan, yang hingga saat ini bahkan prosesnya masih berjalan, partai diharapkan hadir dengan nafas baru.
Khususnya komitmen mereka terhadap fungsi kepartaian, seperti tugas perwakilan, rekrutmen, artikulasi kepentingan, perumusan tujuan, sosialisasi-mobilisasi, dan pengorganisasian pemerintahan (Andrew Heywood, 2014).
Selama ini, tingkat kepercayaan publik terhadap partai begitu rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan Indikator Politik pada tahun 2016, partai politik merupakan lembaga dengan rating paling bawah tingkat kepercayaannya, dengan persentase hanya berkisar 39.2 persen. Bandingkan dengan KPK yang mencapai 79.6 persen.
Sebab itu, peneguhan kembali fungsi kepartaian pasca-pemilu 2019 menjadi kebutuhan prioritas guna mengikis sinisme publik berkepanjangan.
Paling tidak ada empat prasyarat pokok untuk dibenahi agar parpol mampu menjadi lembaga publik terpercaya pasca-pemilu 2019.
Pertama, paling penting, tentu komitmen partai terhadap pemberantasan korupsi di tubuh mereka. Maraknya korupsi yang menjerat partai, berkorelasi dan berkelindan dengan degradasi kepercayaan publik.
Stigma masyarakat melulu jelek bila merujuk partai. Partai, dalam konstruksi kognisi rakyat, diimajikan bak markas pemburu rente. Kasus korupsi, menyumbang persepsi buruk terbesar publik akan eksistensinya.
Sepanjang kasus yang ditangani KPK, korupsi tidak hanya dilandasi motif pribadi kader, namun juga lembaga.
Dalam kasus Eni Saragih (Bendahara Golkar) dan Sunjaya Purwadisastra (Bupati Cirebon), yang beritanya mengemuka beberapa waktu lalu, KPK menemukan hasil korupsi keduanya mengalir untuk kebutuhan operasional partai.
Eni Saragih mengafirmasi uang korupsi proyek PLTU Riau digunakan untuk membiayai munaslub Golkar.
Sementara Sunjaya Purwadisastra mengaku, uang korupsi yang ia dapat disumbang guna menunjang kegiatan P-DIP, tempat dia bernaung.
Dua kasus tersebut hanya miniatur dari daftar panjang kasus yang semakin mengukuhkan stereotip dan citra buruk partai di masyarakat. Partai, bukan saja bermasalah secara orang per orang, namun juga manajemen pengelolaan institusi secara keseluruhan.
Selain membuktikan bahwa sistem manajemen keuangan partai masih kacau, kasus Eni dan Sunjaya tampak paradoks.
Mulanya, kita lazim mendengar, kecilnya dana subsidi parpol kerap menjadi alasan elite atas maraknya korupsi yang membelit mereka. Elite bersikukuh partai sering kali kekurangan dana membiayai kebutuhan operasional. Alasan-alasan ini mereka pakai sebagai pembelaan.
Hal ini paradoks karena pada tahun 2018 Presiden Jokowi telah mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.
PP ini telah melipatgandakan subsidi keuangan parpol sepuluh kali lipat lebih besar, dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara.
Harusnya, bila bersandar pada argumen-argumen elite tentang kecilnya dana parpol, parpol tak lagi mencari sumber pendanaan di luar praktik lazim yang diatur dalam UU lewat beragam modus korupsi.
Praktik lazim yang dimaksud UU misalnya sumbangan dari perseorangan bukan anggota sebesar Rp 1 miliar dan sumbangan perusahaan sebesar Rp 7,5 miliar. Hal ini diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.
Persoalan korupsi di tubuh parpol perlu diakhiri supaya publik tidak semakin menaruh antipati kepada partai. Pengalaman kasus korupsi yang menerpa pengusaha kuat Spanyol, Fransisco Correa beserta jejaring politiknya di Partai Rakyat (People’s Party) yang dikenal dengan “Kasus Gurtel” pada 2009 silam bisa dijadikan pelajaran (The Guardian, 1/3/2019).
Kasus ini sebetulnya jamak di Indonesia, di mana entitas swasta berkomplot dengan elite politik dengan iming-iming feedback saling menguntungkan.
Namun yang menarik dari kasus ini adalah ketidakpercayaan rakyat yang muncul pasca-skandal, tidak hanya berhasil menggerogoti partai, namun berkecambah ke lembaga-lembaga publik lainnya. Peluang yang sama tetap terbuka terjadi di Indonesia.