Merujuk sebelumnya, kewenangan dimaksud tidak dimiliki oleh aparat hukum, kecuali institusi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang boleh melakukan penyadapan. Tentu dalam kaitannya dengan perbuatan korupsi dan tidak berhubungan dengan terorisme.
Pemberian kewenangan untuk melakukan penyadapan ini berhubungan dengan sifat preventif dari aparat penegak hukum khususnya Polri untuk mendeteksi secara dini terjadinya tindak pidana terorisme.
Dengan pemberian kewenangan dimaksud, maka organisasi yang terafiliasi dengan salah satu organisasi teroris yang ada, terutama pada skala internasional, bisa langsung ditangkap dan diproses.
Lebih dari itu, jika sudah ditemukan bahan peledak, peluru, atau zat yang mengindikasikan sebagai bahan peledak tanpa izin, maka akan terjaring oleh UU dimaksud.
Isu hukum yang krusial dan kemudian disahkan adalah pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Kekhawatiran selama ini, sebagaimana pernah terjadi trauma dalam pelibatan TNI dalam penegakan hukum, adalah merujuk pada fungsi sosial politik dari ABRI pada masa lalu.
Keberadaan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (vide Pasal 7 ayat (2) tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) belum meyakinkan para pembahas di DPR. Masih ada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran.
Pada akhirnya kekhawatiran itu dapat ditepis sebab pelibatan dalam hal itu memang dibutuhkan. Apalagi, institusi TNI memiliki bagian atau divisi antiteror.
Pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme juga dianggap sangat dibutuhkan karena terorisme kini merupakan ancaman kedaulatan negara dan menjadi tanggung jawab TNI sebagai komponen utama.
Walhasil, pelibatan TNI akhirnya disepakati pada 14 Maret 2018 dan masuk dalam Pasal 43 J ayat 1, 2 dan 3.
Berikutnya, sebagaimana tercatat dalam draf RUU Terorisme per 17 April 2018, pada akhirnya pelibatan dimaksud telah disahkan.
Dengan demikian, secara formal kekhawatiran itu ditepis dan divisi khusus TNI yang merupakan pasukan anititeror dilibatkan dalam penanggulangan tindak pidana terorisme.
Dalam catatan yang diperoleh dengan membandingkan UU Terorisme yang disempurnakan, setidaknya ada delapan poin penting yang menjadi semacam energi baru dalam pemberantasan terorisme.
Kedelapan hal itu, di samping kedua hal yang disebutkan di atas--yaitu tentang penyadapan dan pelibatan TNI, adalah sebagai berikut.
Pertama, kriminalisasi baru terhadap berbagai rumus baru tindak pidana terorisme, seperti jenis bahan peledak, mengikuti pelatihan militer atau paramiliter atau latihan lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.