JAKARTA, KOMPAS.com - Saksi dari Tim Hukum pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Idham, memaparkan empat kejanggalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam sidang lanjutan sidang sengketa hasil Pilpres 2019.
Keempat kejanggalan tersebut adalah data Nomor Induk Kependudukan (NIK) di kecamatan siluman, NIK rekayasa, data pemilih ganda dan data pemilih di bawah umur.
Saat pemaparan, Idham mengaku mendapat DPT Pemilu 2019 dari DPP Partai Gerindra pada Februari 2019.
Berdasarkan penelusuran, ia menemukan data NIK di kecamatan siluman atau kode kecamatan yang tak sesuai.
Baca juga: Saksi 02 Tidak Tahu Apakah 17,5 Juta Pemilih yang Disebut Invalid Datang ke TPS atau Tidak
Ia mencontohkan jumlah kecamatan di Bogor yang jumlahnya lebih dari 40 kecamatan.
"Pada kolom kode kecamatan. Di Bogor itu cuma ada 40 kecataman, tapi di sana ada lebih. Ini yang disebut NIK berkecamatan siluman," ujar Idham dalam sidang sengketa hasil pilpres di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2019).
"NIK siluman jumlah seluruhnya 56.832, yang ini paling banyak di Bengkulu tapi saya lupa jumlahnya," ucap dia.
Soal NIK rekayasa merupakan NIK yang elemen datanya salah, yakni kode NIK untuk laki-laki dan perempuan yang tak sesuai.
Menurut Idham, data NIK rekayasa itu berjumlah 10.901.715. Jumlah tertinggi ada di Kabupaten Bogor.
"Yang tertinggi itu di Bogor, sekitar 437 ribu lebih," kata Idham.
Kejanggalan ketiga yakni, soal pemilih ganda. Idham mengatakan, terdapat data nama, tempat dan tanggal lahir yang sama.
Artinya, ada duplikasi atau kesamaan, baik nama, tempat dan tanggal lahir pemilih.
"Total kasus sekitar 2 juta. Kasus pemilih ganda yang terbanyak di Papua. Total kasus penggandaannya itu adalah 2.155.905. Satu nama itu bisa ganda satu kali, dua kali, tiga kali," tutur dia.
Baca juga: Ketua KPU Minta Saksi Tak Gunakan Istilah yang Berlebihan dalam Sidang MK
Terakhir, soal data pemilih dengan umur bawah umur. Menurut Idham, ada nama pemilih yang usinya di bawah lima tahun.
Namun ia tidak memaparkan jumlah total terkait adanya data pemilih di bawah umur.
"Ini menjadi masalah karena dalam DPT status perkawinan dan usia pemilih dihilangkan. Sehingga kita tidak tahu," kata Idham.