Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Urgensi Saksi yang "Kurang Penting" dalam Sengketa Pilpres di MK

Kompas.com - 19/06/2019, 08:30 WIB
Abba Gabrillin,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan mengenai jumlah saksi yang akan dihadirkan menjadi salah satu perdebatan yang terjadi dalam sidang sengketa hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (19/6/2019).

Kuasa hukum pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto meminta agar hakim memberikan hak-hak pemohon, termasuk keleluasaan untuk menghadirkan saksi.

Bambang meminta agar diizinkan membawa 30 orang saksi fakta dan 5 orang ahli. Menurut Bambang, kehadiran saksi dalam persidangan ini adalah hal yang krusial.

Baca juga: Yusril: Saksi-saksi Saja Belum Ada Namanya, Kok Sudah Diancam?

Keterangan saksi dinilai penting untuk membuktikan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam pemilu.

"Mohon kami diberikan keleluasaan membuktikan dalil kami dengan proporsional dan bukan mengada-ada," kata Bambang.

Beda perkara, beda keperluan saksi

Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan penjelasan mengenai urgensi menghadirkan saksi.

Menurut Suhartoyo, pemohon harus bisa membedakan setiap jenis perkara dan pengadilan yang menanganinya.

Keterangan saksi memang secara umum digunakan dan menjadi acuan utama oleh hakim dalam memutus perkara.

Namun, Suhartoyo menjelaskan bahwa hal itu tidak berlaku sama bagi semua jenis perkara.

Baca juga: Saat BW dan Tim Hukum Jokowi Berdebat soal Perlindungan Saksi

Sebagai contoh, menurut Suhartoyo, keterangan saksi menjadi hal utama dan paling penting dalam persidangan perkara pidana.

Akan tetapi, alam perkara perdata, bukti surat dan dokumen lebih penting daripada keterangan saksi.

Demikian pula dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang saat ini ditangani MK. Menurut Suhartoyo, bukti tertulis atau surat-surat selalu ditempatkan nomor satu dalam PHPU.

Bahkan, Suhartoyo mengatakan, keterangan saksi dalam PHPU adalah hal ketiga.

"Dalam sengketa pilpres, nomor dua adalah keterangan para pihak. Saksi itu nomor 3," ujar Suhartoyo.

Menurut Suhartoyo, dalam perkara pidana hanya ada satu pihak yang diuji kepentingannya. Sementara, dalam perkara perdata atau PHPU, terdapat dua kepentingan yang diuji oleh hakim.

Baca juga: MK Tolak Permintaan Tim Hukum 02 soal Pemanggilan Aparat Hukum Jadi Saksi

Untuk itu, dalam perkara yang melibatkan dua kepentingan, alat bukti menjadi nomor satu dan terkait langsung dengan formalitas pembuktian.

Kemudian, prioritas kedua adalah keterangan para pihak, baik pemohon, termohon dan pihak terkait.

Suhartoyo menjamin MK tidak akan membatasi keterangan yang disampaikan para pihak dalam persidangan.

"Artinya ada skala prioritas, kenapa alat bukti jadi yang pertama dalam sengketa kepentingan," kata Suhartoyo.

Suhartoyo mengatakan, MK tidak akan membatasi para pihak mengajukan bukti surat atau dokumen yang sifatnya primer. Sebaliknya, kehadiran para saksi akan dibatasi untuk memaksimalkan pembuktian surat-surat.

"Bayangkan, bagaimana 14 hari MK bisa pelajari surat-surat yang kata Pak Bambang bertruk-truk. Belum dari termohon, ruang hakim sampai enggak muat," kata Suhartoyo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com