Pengacara pasangan 01, I Wayan Sudirta mengatakan, tim hukum 02 tidak bisa menjelaskan secara spesifik mengenai waktu kejadian, bagaimana kejadiannya, siapa pelakunya, dan apa hubungannya dengan perolehan suara paslon.
"Bahwa dalil pemohon mengenai ketidaknetralan aparat bersifat asumtif dan tendensius karena didasarkan pada dugaan-dugaan yang keliru dan tidak berdasar," ujar Wayan.
Baca juga: Tim Hukum 01 Minta MK Tolak Permohonan Prabowo-Sandiaga Soal Diskualifikasi, Ini Alasannya
Demikian pula dengan tuduhan bahwa calon presiden nomor urut 01 Jokowi melanggar asas pemilu bebas dan rahasia dalam pemilu karena menyerukan pemilihnya memakai baju putih ke tempat pemungutan suara (TPS).
Menurut pengacara 01 lainnya, Luhut Pangaribuan, tidak ada kaitannya antara seruan memakai baju putih dengan hasil suara paslon.
"Sehingga dalil ini hanya asumsi dan perasaan pemohon semata yang tidak dapat ditemukan kebenaran faktualnya secara hukum. Dengan demikian patut bagi Mahkamah untuk mengenyampingkan dalil pemohon ini," kata Luhut.
Dengan argumen itu, tim hukum 01 pun berpendapat seharusnya permohonan gugatan Prabowo-Sandiaga tak diterima Mahkamah Konstitusi.
Bukan hanya karena berisi asumsi melainkan juga karena tak sesuai aturan hukum dan kewenangan MK.
Yusril Ihza Mahendra mengatakan, salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Oleh karena itu, seharusnya pokok permohonan dalam gugatan Prabowo-Sandiaga berisi tentang kesalahan hasil hitung yang ditetapkan pemohon.
Baca juga: Tim Hukum 01 Tunjukkan Bukti Maruf Amin Bukan Karyawan atau Pejabat BUMN
"Pemohon dalam permohonannya tidak menerangkan tentang hasil perolehan suara sebagai objek perkara yang seharusnya menjadi syarat formil dalam permohonan," ujar Yusril.
Tim hukum 02 malah fokus mendalilkan adanya dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Yusril mengatakan, pelanggaran TSM yang dimaksud juga tak bisa dibuktikan karena bersifat asumsi.
"Pemohon hanya mendalilkan adanya pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, sebagaimana disebutkan dalam dalil pemohon pada halaman 15 - 29," ujar Yusril.
"Yang mana dalil-dalil pemohon adalah merupakan asumsi, tidak disertai bukti-bukti yang sah, dan tidak pula dapat terukur secara pasti bagaimana dan sebesar apa dampaknya terhadap perolehan suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden," tambah dia.
Baca juga: Tim 01: DPT untuk Pilpres dan Pileg, Tak Mungkin Untungkan Salah Satu Paslon
Di sisi lain, kata dia, Pasal 286 UU Pemilu menyebut bahwa pelanggaran terkait TSM dikenai sanksi administratif oleh Bawaslu.
Oleh karena itu, penyelesaian pelanggaran hukum TSM seperti isi gugatan 02 seharusnya bukan diselesaikan di MK.
Yusril mengatakan, Pasal 51 Peraturan MK Nomor 4 tahun 2018 mengatur bahwa permohonan tidak dapat diterima jika tidak beralasan menurut hukum.
"Bahwa berdasarkan uraian dan argumentasi yuridis di atas, sudah cukup kiranya alasan bagi Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia, untuk menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadili Permohonan Pemohon, sehingga beralasan hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Yusril.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.