JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang pihak swasta bernama Hendra mengatakan, dirinya bersama adik mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Afdal Noverman, memanfaatkan nama Gamawan untuk meminta fee proyek ke Mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero), Budi Rachmat Kurniawan.
Kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hendra mengaku sebagai teman Afdal.
Fee proyek yang dimaksud Hendra terkait proyek pembangunan gedung kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Hal itu disampaikan Hendra saat bersaksi untuk terdakwa Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (17/6/2019) malam.
Baca juga: Kasus Proyek IPDN, KPK Geledah Kantor PT Adhi Karya di Makassar
"Jadi bincang-bincang dengan Beliau ini ada info pada bulan lima atau enam saya lupa, tahun 2011, coba Pak Hendra temuin Pak Budi, terus saya. Pada dasarnya memang ada kerjaan Pak Budi kerjaan apa, proyek IPDN di Bukittinggi. Kemudian Pak Budi enggak begitu saja percaya dengan saya," kata Hendra ke jaksa KPK.
Pada akhirnya, ia mengajak Afdal bertemu Budi. Kepada Budi, Hendra menyampaikan bahwa Afdal adalah adik Gamawan. Saat itu, kata dia, Budi tak mengetahui bahwa Afdal adalah adik Gamawan.
"Jadi waktu itu fee proyek di IPDN Bukittinggi. Dia (Afdal) enggak ada kaitannya (dengan proyek IPDN)," kata dia.
Menurut Hendra, fee yang diminta sebesar 2,5 persen dari nilai proyek. Hendra menyebut fee tersebut merupakan kesepakatan antara Afdal dan Budi.
"Itu dikasih dia kasih empat kali, Pak Budi. Nilainya saya lupa di-BAP saya perkirakan, pokoknya saya terima 2,5 persen," kata dia.
Jaksa KPK pun mengonfirmasi berita acara pemeriksaan (BAP) Hendra bahwa ia diinstruksikan menerima fee 2,5 persen itu. Proses pemberian fee dalam empat tahap, yaitu Rp 750 juta sebanyak tiga kali dan 580 juta satu kali.
Uang itu diserahkan Budi ke Hendra pada periode November dan Desember 2011.
"Kan tidak ujug-ujug orang dimintai mengambil uang, ada cerita awalnya kok diminta Dadang (Afdal), kan kaitan dengan Pak Budi enggak ada kerjaan yang berkaitan dengan IPDN ini, kok tiba-tiba ambil uang?" tanya jaksa KPK.
"Kami jual nama Pak Gamawan. Saya bilang saja, Pak Dadang (Afdal) ini adiknya Pak Gamawan, gitu. Karena waktu itu Pak Gamawan itu dulu Menteri jadi saya dengan Pak Dadang (sepakat), kalau saya sendiri sebagai apa kan. Ibarat saya sebagai siapa gitu, jadi berdua dengan Pak Dadang untuk dapat uang (fee) itu," katanya.
Menurut dia, uang itu diserahkan terlebih dulu ke Afdal. Ia mengaku tak tahu menahu penggunaan uang itu. Akan tetapi ia mengakui menerima bagian sekitar 15 persen dari fee yang sudah diterima.
Dalam kasus ini, Budi Rachmat Kurniawan didakwa merugikan negara Rp 56,9 miliar dalam proyek pembangunan gedung kampus IPDN.
Menurut jaksa, Budi melakukan pengaturan dalam proses pelelangan untuk memenangkan PT Hutama Karya, dengan memasukkan arranger fee dalam komponen anggaran biaya lelang (ABL) untuk diberikan kepada pihak-pihak terkait pelelangan.
Baca juga: Diperiksa dalam Kasus E-KTP, Gamawan Fauzi Mengaku Dikonfirmasi soal Markus Nari
Selain itu, untuk kepentingan pribadi, Budi menandatangani kontrak, meski mengetahui adanya rekayasa dalam pelelangan. Terdakwa melakukan subkontrak pekerjaan utama tanpa persetujuan pejabat pembuat komitmen (PPK).
Kemudian, membuat pekerjaan fiktif untuk menutup biaya arranger fee, menerima pembayaran seluruhnya atas pelaksanaan pekerjaan, meski pelaksanaan pekerjaan belum selesai 100 persen atas pembangunan Kampus IPDN Provinsi Sumatera Barat di Kabupaten Agam.
Selain itu, hal serupa dilakukan dalam proyek pembangunan gedung kampus IPDN Provinsi Riau di Kabupaten Rokan Hilir pada Kementerian Dalam Negeri Tahun Anggaran 2011. Menurut jaksa, perbuatan Budi juga telah memperkaya sejumlah orang dan korporasi.