Selanjutnya, kedua, proses rekonsililiasi yang dilakukan elite juga mesti dibarengi dengan sikap saling menghormati meski berbeda pandangan.
Mewujudkan rasa saling menghormati juga berarti menciptakan rasa saling percaya di antara mereka. Bahwa perselisihan dan perbedaan dapat diselesaikan dengan terlembaga.
Sebab bila diteliti dengan seksama, fenomena pilpres 2019 telah menjadi puncak rusaknya kohesi struktur lapisan masyarakat. Kerusuhan 22 Mei menjadi bukti konkrit bahwa modal sosial masyarakat yang sejak lama dibangun, runtuh seketika.
Ini akibat tiga elemen modal sosial yang disebut Robert Putnam (1993) seperti jaringan informasi, norma, jalinan kepercayaan, yang telah dianut masyarakat bertahun-tahun, direbaki kecurigaan. Tidak ada lagi rasa saling percaya. Sehingga ini berdampak pada proses delegitimasi masyarakat bukan hanya kepada sesama mereka tapi juga terhadap lembaga-lembaga demokrasi.
Dengan adanya sikap saling menghormati di antara elite, ini akan memulihkan kembali modal sosial di masyarakat. Diharapkan, masyarakat tidak lagi menaruh rasa saling curiga. Yang selanjutnya berdampak pada pulihnya kepercayaan mereka pada institusi demokrasi.
Mengambil amsal dari rekonsiliasi antara suku pribumi dan imigran pendatang seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia, argumen Vernada memberikan masukan cukup baik.
Menurutnya, untuk mencapai rekonsiliasi di antara mereka, diperlukan sikap saling menghormati dan rekognisi atas nilai moral yang dianut secara setara, baik antara imigran dan penduduk asli (Ernesto Verdeja, 2017).
Kaitannya dengan pilpres kita adalah bahwa pemenang harus mengakui pola hubungan mereka dengan pihak-pihak yang kalah tetap dalam posisi equal, horizontal, adil. Tidak berat sebelah dan tidak ada pilih kasih dalam hukum atau kebijakan.
Tidak ada lagi penganak-tirian karena orang-orang pada salah satu kubu bukanlah barisan pendukung pemenang. Merangkul yang kalah merupakan rekognisi penting guna mencapai rekonsiliasi.
Ia juga menandakan adanya pengakuan yang seimbang sebagai bangsa yang satu. Sehingga tidak ada lagi sekat yang memisahkan atau bahkan pembulian terhadap kelompok yang kalah. Sekaligus menghindari persepsi seolah-olah orang-orang kalah tidak mempunyai hak yang sama pasca kekalahannya.
Selanjutnya, ketiga, elite juga harus menjaga komitmen mereka terhadap pemberantasan hoaks dan cara-cara politik kotor.
Sepanjang estafet pemilu ini, elite selalu menyuguhkan cara-cara machiavelian dalam strategi politik mereka. Cara anomali ini sebetulnya sudah terendus sejak pilpres 2014 lalu dan kemudian mencapai titik kulminasi dalam pilgub jakarta 2017.
Paradigma ini dipakai melalui sebaran propaganda hoax dan ujaran kebencian. Praktik ini juga dipertontonkan elite dengan ramai-ramai menggandeng para agamawan. Melibatkan mereka ke dalam politik praktis berarti memungkinkan terjadinya benturan antara sekte aliran keagamaan, khususnya dalam islam (modernis, tradisionalis, konseratif).
Kaum agamawan dianggap memiliki peran sentral terhadap lapisan masyarakat bawah dengan masing-masing basis massa. Retorika dan dalil-dalil agama dimanfaatkan sebagai tameng yang melegitimasi kekuatan politik elite.
Makanya, politik sebagai entitas profan perlahan menjadi sakral. Tak pelak cara-cara tersebut menyeret sentimen antar masyarakat menjadi lebih dalam. Pasalnya agama begitu melekat dalam kehidupan sosial masyarakat kita.