Masyarakat sudah terbelah sedemikian rupa sehingga memerlukan rekonsiliasi untuk mencegah konflik semakin parah. Gejala dan potensi akan adanya perpecahan ke arah yang lebih luas sudah ada.
Ini terekam tatkala salah seorang tokoh Aceh, Muzakir Manaf mengusulkan diadakannya referendum beberapa waktu pasca-pemilu. Usul ini ditengarai berbagai pihak erat kaitannya dengan kekecewaannya atas kekalahan kandidat yang dia usung dalam musim pilpres ini. Karena itu, rekonsiliasi merupakan hal yang mesti diupayakan supaya gejala ini tidak menyebar.
Memang, membicarakan rekonsiliasi politik terkadang masih dianggap hal sensitif dan tabu di negara-negara demokrasi. Khususnya di negara-negara demokrasi yang rentan.
Sebab, dengan menggali kembali luka lama, hal itu dianggap membahayakan prospek institusionalisasi demokrasi yang sedang berjalan serta dikhawatirkan menganggu proses pembangunan jangka panjang (David, A. Crocker, 1999).
Namun, paradigma Crocker seperti itu hanya akan berlaku ketika friksi berada pada posisi paling akut serta mengkhawatirkan, dengan kasus-kasus besar seperti Gerakan 30 September dan pembantaian masal para anggota PKI.
Adapun kasus 22 Mei lalu, meski tidak bisa disimplifikasi sebagai peristiwa kecil, tapi setidaknya hal itu masih dapat dikelola dengan baik bila elite memiliki political will untuk saling bertemu.
Menurut Coleen Murphy (2007) rekonsiliasi sendiri dimaknai sebagai upaya guna memperbaiki kembali hubungan yang rusak di masyarakat, menghindari terjadinya pembalasan, dan agar tak terulang di masa datang.
Rekonsiliasi berupaya untuk mengatasi kebencian, kemarahan, serta permusuhan lewat pencarian pola komunikasi yang sesuai antara dua belah pihak sehingga pertikaian tidak lebih dalam, mengaleniasi keduanya.
Secara etik, rekonsiliasi bukan berarti menafikan hukuman kepada pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab. Rekonsiliasi menurut Coleen juga bukanlah sebuah pengampunan terhadap sebuah kesalahan. Penegakan hukum harus tetap berjalan.
Rekonsiliasi malah merupakan konsep perbaikan hubungan dengan tetap menunjung dan hormat pada hukum yang berlaku. Supremasi hukum tetap menjadi penting sebab ia satu-satunya penyangga harmoni kehidupan. Rekonsiliasi, kurang lebih merupakan cara, yang juga mendorong konsensus bersama pada penyelesaian hukum secara adil.
Untuk merealisasikan upaya rekonsiliasi secara konkrit, sesederhananya itu dilakukan lewat pertemuan dan tatap muka. Tapi juga ada beberapa komitmen yang mesti dipenuhi elite.
Pertama, menghentikan ujaran-ujaran provokatif. Ujaran provokatif memberikan sumbangsih besar pada munculnya dikotomi dan friksi tajam di masyarakat bawah. Ujaran provokatif sukes menghasilkan dua kelompok militan ekstrem antar dua kubu yang bertarung.
Konflik antar masyarakat tampak jelas dari perdebatan yang riuh yang melibatkan dua simpatisan di berbagai kanal forum. Terlebih, perdebatan tersebut masuk ruang-ruang privat kerabat, sanak, dan keluarga.
Grup-grup watshap dipenuhi cacian, umpatan, serta berbagai reaksi yang saling bertaut. Sebagian di antaranya, hingga berani memutus tali silaturahmi di antara mereka.
Satu keluarga di Gorontalo bahkan mempertontonkan kepada kita bagaimana friksi ini (meski ini terkait beda pilihan caleg) sampai mendorong tindakan paksa pemindahan makam hanya karena beda pilihan.