JAKARTA, KOMPAS.com - Harapan akan lembaga peradilan yang bersih dan adil serta terbebas dari praktik suap masih terus digantungkan. Demikian pula harapan terhadap Mahkamah Konstitusi yang akan menggelar sidang sengketa hasil pemilu.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan, masyarakat berharap 9 hakim konstitusi yang akan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 mengedepankan integritas.
"Jika ada yang melanggar integritas dan menjurus dalam perilaku koruptif dalam perkara ini, maka pertaruhannya adalah Pemilu 2019," ujar Oce kepada Kompas.com, Kamis (13/6/2019).
Baca juga: Ketum Sebut Golkar Akan Bahas Jatah Kursi Menteri Usai Putusan MK
Menurut Oce, melalui penyelesaian sengketa pemilu, MK juga ikut berperan menjaga kualitas hasil pemilihan umum.
Jika hakim konstitusi menunjukkan integritas, maka hasil putusan akan kredibel dan diterima oleh masyarakat.
Hakim-hakim MK diminta belajar dari pengalaman M Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
Kedua hakim yang diberi amanah sebagai penjaga konstitusi itu justru mencederai kepercayaan publik karena terlibat kasus korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pernah mengadili mantan Ketua MK M Akil Mochtar. Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam dakwaan kesatu.
Baca juga: Jumat Besok, Seluruh Komisioner KPU Bakal Hadir di Sidang Pendahuluan Sengketa Pilpres di MK
Pertama, Pilkada Kabupaten Gunung Mas sebesar Rp 3 miliar dan Kalimantan Tengah Rp 3 miliar. Kemudian, Pilkada Lebak di Banten Rp 1 miliar, Pilkada Empat Lawang Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS. Selain itu, Pilkada Kota Palembang sekitar Rp 3 miliar.
Atas perbuatan itu, Akil dihukum penjara seumur hidup. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding yang diajukan Akil Mochtar dan menyatakan Akil tetap mendapatkan hukuman seumur hidup.
Pendapat yang sama juga dinyatakan Mahkamah Agung. MA menolak kasasi yang diajukan Akil dan tetap menguatkan hukuman penjara seumur hidup.
Patrialis adalah Hakim Konstitusi kedua yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang diterima Patrialis.
Baca juga: Hadapi Gugatan Prabowo di MK, Tim Hukum Jokowi Serahkan Satu Boks Berkas Jawaban
Patrialis terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Patrialis dan orang dekatnya Kamaludin menerima Rp 50.000 dollar AS, dan Rp 4 juta.
Keduanya juga dijanjikan uang sebesar Rp 2 miliar dari Basuki.