Oleh: Björn Dressel
LAGI-LAGI badai politik menerjang Mahkamah Konstitusi (MK). Prabowo Subianto, yang untuk kedua kalinya kalah dalam pemilihan presiden (pilpres), kembali menggugat kemenangan Joko "Jokowi" Widodo ke MK.
Prabowo menuduh Jokowi curang dan menuntut MK agar mendiskualifikasi sang petahana dan menjadikan dirinya sebagai pemenang pilpres. Gugatan serupa pernah dilayangkan Prabowo pada Pilpres 2014 ketika dirinya juga kalah dari Jokowi.
Oleh karena itu, sekali lagi, MK diminta bertindak sebagai wasit yang independen dalam kontestasi politik Indonesia.
Hal ini tidak semata-mata hanya untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden, tetapi juga masa depan demokrasi Indonesia mengingat legitimasi proses pemungutan suara yang jadi taruhannya.
Sejumlah orang ragu akan kenetralan MK. Sejak penangkapan para hakim MK, termasuk mantan Ketua MK, Akil Mochtar, atas kasus penyuapan pada 2013, publik menjadi meragukan kualitas lembaga tersebut.
Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga meragukannya.
Namun, penelitian terbaru saya bersama Tomoo Inoue dari Seikei University di Jepang mungkin dapat melepas kekhawatiran tim Prabowo karena temuan kami menunjukkan bahwa MK bisa tetap independen.
Berdasarkan analisis empiris terhadap kinerja MK antara tahun 2004 dan 2016, kami tidak menemukan adanya bukti yang dapat memengaruhi keputusan MK untuk selalu mendukung pemerintah dalam kasus-kasus penting.
Untuk penelitian ini, kami mengumpulkan data yang mencakup kasus-kasus penting antara 2004 dan 2016. Pentingnya kasus ini diukur dari banyaknya jumlah pemberitaan kasus-kasus tersebut di dua surat kabar utama dan pembahasan pada publikasi dan diskusi akademik. Hasilnya, kami menemukan 80 kasus.
Selain itu, kami melengkapi analisis 80 kasus tersebut dengan menganalisis profil 26 hakim yang bertugas di MK sejak MK pertama kali berdiri tahun 2003.
Kami menemukan adanya peningkatan kasus-kasus politik dan kasus penting lain secara bertahap dari waktu ke waktu dengan lonjakan yang signifikan selama pemilihan umum (pemilu).
Dari 80 kasus, 28 persen di antaranya terkait dengan sengketa pemilu; 33 persen tentang hak-hak individu dan kebebasan sipil; 24 persen tentang pemisahan kekuasaan di antara lembaga pemerintahan; 9 persen tentang masalah ekonomi, dan 6 persen terkait dengan kekuasaan presiden.
Meski 41 kasus (51 persen) diputuskan dengan suara bulat, dalam 39 kasus (49 persen) setidaknya ada satu hakim yang menyatakan tidak setuju terhadap putusan yang diambil.
Jumlah beda pendapat antarhakim telah menurun dari tahun ke tahun dan mencapai titik terendah baru di bawah Jokowi. Angka ini menunjukkan berkurangnya perbedaan pendapat di meja hijau.
Menariknya, pemerintah kalah sebanyak 75 persen dari putusan dan hanya memenangi 25 persen dari sampel 80 kasus yang dipilih.