JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu hakim yang mengadili mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Galaila Agustiawan menyatakan berbeda pendapat dengan empat majelis hakim lainnya.
Anwar yang merupakan hakim anggota tiga menilai, Karen tidak terbukti bersalah dan seharusnya dibebaskan dari tuntutan hukum.
"Hakim anggota tiga menyatakan dissenting opinion dan menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi sesuai dakwaan primer Pasal 2 dan subsider Pasal 3 UU Tipikor," ujar hakim Anwar saat membacakan pendapatnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/6/2019).
Baca juga: Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Divonis 8 Tahun Penjara
Menurut Anwar, keputusan untuk investasi dalam Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009, bukan keputusan Karen sendiri.
Keputusan itu adalah kolektif kolegial oleh seluruh jajaran direksi.
Kemudian, Karen bersama jajaran direksi menyetujui akuisisi dengan terlebih dulu meminta izin pada Dewan Komisaris Pertamina pada 12 April 2009.
Menurut Anwar, Karen dan jajaran direksi melakukan akuisisi semata-mata untuk mengembangkan Pertamina dan bertujuan menambah cadangan minyak.
Anwar mengatakan, Karen sebagai direktur utama memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan tepat guna.
Baca juga: Divonis 8 Tahun Penjara, Karen Agustiawan Banding Sambil Berucap Innalillahi
Adapun, beda pendapat antara Komisaris dan Direksi Pertamina, menurut Anwar, adalah hal yang tidak termasuk melanggar hukum.
Sebab, Komisaris hanya berfungsi sebagai penasehat, bukan pengambil kebijakan.
"Perbedaan itu bukan penyalahgunaaan wewenang atau melanggar hukum. Keputusan ada pada direksi bukan dewan komisaris," kata Anwar.
Di sisi lain, menurut Anwar, usaha minyak dan gas adalah bisnis yang sangat penuh dengan ketidakpastian.
Baca juga: Karen Agustiawan Tak Dikenai Hukuman Pembayaran Uang Pengganti Rp 284 Miliar
Sekalipun sudah ada evaluasi yang matang, tetap tidak ada kepasian mengenai bisnis minyak di bawah dasar laut.
Bukan kerugian negara
Menurut Anwar, kerugian Pertamina sebesar Rp 568 miliar tidak serta merta menjadi keruguan negara.
Sebab, uang itu digunakan untuk kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan pribadi.
Apalagi, dalam pertimbangan empat hakim lainnya, dinyatakan bahwa Karen tidak terbukti menerima keuntungan dan memperkaya diri sendiri.
Selain itu, seluruh transaksi dalam akuisisi juga dilakukan secara jelas melaui transfer bank.
Untuk membuktikan adanya perbuatan pidana atau kerugian negara, menurut Anwar, perlu diselidiki apakah ada persekongkolan antara Karen dan Roc Oil Company Ltd Australia.
Namun, dalam perkara ini, tidak ada satupun pihak Roc yang diperiksa dan dimintai keterangannya.
Menurut Anwar, sejauh hanya transaksi bisnis, maka kerugian itu adalah kerugian bisnis PT Pertamina. Apalagi, Karen telah mendapat release and discharge dari PT Pertamina.
"Hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," kata Anwar.
Meski demikian, karena yang berbeda pendapat hanya satu hakim, putusan terhadap Karen tetap menggunakan pertimbangan suara terbanyak, yakni empat hakim lainnya.
Mayoritas hakim berpendapat Karen telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsider.
Karen divonis 8 tahun penjara dan dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 15 tahun penjara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.