Di dalam peran ini, Bung Karno menjadi pemikir yang berhasil mengawal ide otentiknya menjadi konsensus bersama pendiri negara.
Bung Karno menempatkan diri sebagai jembatan persatuan antar-ideologi peserta sidang. Keputusannya membentuk Panitia Sembilan dilatari oleh keinginannya untuk menyeimbangkan kekuatan kelompok nasionalis dan Islam.
Baca juga: Megawati Duga Teks Asli Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 Sudah Dihancurkan
Maka, keanggotaan di Panitia Sembilan pun berimbang. Empat kelompok Islam, empat nasionalis, ditambah Bung Karno sebagai “wasit” dan ketua.
Dalam tegangan ideologis antara aspirasi Islam sebagai dasar negara dan dasar negara Pancasila inilah teks Piagam Jakarta lahir dengan sila pertama berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Sila syariat ini menjadi kompensasi atas tidak dijadikannya Islam sebagai dasar negara.
Sebagai ketua sidang dan seorang pengusung ideologi persatuan, Bung Karno mengamini “tujuh kata syariat” tersebut sebagai syarat realistis agar kelompok Islam menerima Pancasila.
Bahkan, sehari sebelum sidang kedua BPUPK selesai, yakni 16 Juli 1945, Bung Karno dengan berlinang air mata meminta kelompok nasionalis untuk menerima “tujuh kata” ini. Alhasil, Piagam Jakarta lolos hingga sidang kedua BPUPK berakhir.
Baru pada pagi 18 Agustus 1945, menjelang Sidang PPKI, “tujuh kata” itu dihapus setelah Bung Hatta melobi para tokoh Islam untuk mengganti “kalimat Islamis” itu (Basarah, 2017).
Ketiga, karena Bung Karno telah menetapkan konsep sila-sila yang meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Ini merupakan urutan sila-sila pidato 1 Juni.
Meskipun urutan ini diubah oleh Panitia Sembilan menjadi ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial, tema sila-sila itu tidak berubah dan tetap mengacu pada ide Bung Karno.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara kita membaca sila-sila tersebut? Apakah membacanya secara terpisah dan bercerai-derai?
Atau, apakah sila-sila Pancasila hanya kita baca secara normatif dan bebas nilai sebagaimana dicanangkan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)?
Tentu tidak. Karena, Bung Karno meracik sila-sila itu secara konseptual berdasarkan pergulatan intelektual yang panjang.
Pergulatan itu merujuk pada upayanya menyatukan tiga ide besar di Indonesia dan Asia di masa perjuangan kemerdekaan, yaitu nasionalisme, Islamisme, dan sosialisme. Di majalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Soekarno muda menuliskan gagasan brilian ini.
Baca juga: Pidato Bung Karno 1 Juni, Tonggak Sejarah Lahirnya Pancasila
Menurut Soekarno, ketiga ideologi ini memang memiliki perbedaan. Nasionalisme mementingkan bangsa dan persatuan di tengah perbedaan; Islam mementingkan Tuhan, spiritualitas, dan universalitas umat yang lintas bangsa; sementara sosialisme mementingkan perjuangan kelas demi emansipasi kaum buruh.
Namun, pikir Bung Karno, “Bukankah ketiga ideologi ini ingin dilenyapkan oleh penjajah, akibat sikap subversifnya terhadap penjajahan? Mengapa tidak bersatu?”
Persatuan ini pun ia rumuskan secara teoretik. Maka, nasionalisme seharusnya bersatu dengan Islamisme karena kedua ide ini sama-sama menentang kezaliman.
Menurut Bung Karno, umat Islam di negeri mana pun selalu mencintai Tanah Air-nya. Di tengah hidup yang dijajah, bagaimana umat Islam tidak menjadi nasionalis?