Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP), Staf Ahli MPR RI. Mantan Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018). Penulis buku; (1) Islam dan Pancasila, Perspektif Maqashid Syariah Prof. KH Yudian Wahyudi, PhD (2022).  (2) Pancasila versus Khilafah (2021), (3) Pancasila, Pemikiran Bung Karno (2020), (4) Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (2018), (5) Falsafah Kebudayaan Pancasila (2016), serta beberapa buku lain bertema kebangsaan, Islam dan kebudayaan.

Pancasila, Soekarno, dan Krisis Sintesa Kebangsaan

Kompas.com - 31/05/2019, 19:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di dalam peran ini, Bung Karno menjadi pemikir yang berhasil mengawal ide otentiknya menjadi konsensus bersama pendiri negara.

Bung Karno menempatkan diri sebagai jembatan persatuan antar-ideologi peserta sidang. Keputusannya membentuk Panitia Sembilan dilatari oleh keinginannya untuk menyeimbangkan kekuatan kelompok nasionalis dan Islam.

Baca juga: Megawati Duga Teks Asli Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 Sudah Dihancurkan

Maka, keanggotaan di Panitia Sembilan pun berimbang. Empat kelompok Islam, empat nasionalis, ditambah Bung Karno sebagai “wasit” dan ketua.

Dalam tegangan ideologis antara aspirasi Islam sebagai dasar negara dan dasar negara Pancasila inilah teks Piagam Jakarta lahir dengan sila pertama berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Sila syariat ini menjadi kompensasi atas tidak dijadikannya Islam sebagai dasar negara.

Sebagai ketua sidang dan seorang pengusung ideologi persatuan, Bung Karno mengamini “tujuh kata syariat” tersebut sebagai syarat realistis agar kelompok Islam menerima Pancasila.

Bahkan, sehari sebelum sidang kedua BPUPK selesai, yakni 16 Juli 1945, Bung Karno dengan berlinang air mata meminta kelompok nasionalis untuk menerima “tujuh kata” ini. Alhasil, Piagam Jakarta lolos hingga sidang kedua BPUPK berakhir.

Baru pada pagi 18 Agustus 1945, menjelang Sidang PPKI, “tujuh kata” itu dihapus setelah Bung Hatta melobi para tokoh Islam untuk mengganti “kalimat Islamis” itu (Basarah, 2017).

Ketiga, karena Bung Karno telah menetapkan konsep sila-sila yang meliputi kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Ini merupakan urutan sila-sila pidato 1 Juni.

Meskipun urutan ini diubah oleh Panitia Sembilan menjadi ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial, tema sila-sila itu tidak berubah dan tetap mengacu pada ide Bung Karno.

Cara membaca Pancasila

Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara kita membaca sila-sila tersebut? Apakah membacanya secara terpisah dan bercerai-derai?

Atau, apakah sila-sila Pancasila hanya kita baca secara normatif dan bebas nilai sebagaimana dicanangkan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)?

Tentu tidak. Karena, Bung Karno meracik sila-sila itu secara konseptual berdasarkan pergulatan intelektual yang panjang.

Pergulatan itu merujuk pada upayanya menyatukan tiga ide besar di Indonesia dan Asia di masa perjuangan kemerdekaan, yaitu nasionalisme, Islamisme, dan sosialisme. Di majalah Suluh Indonesia Muda tahun 1926, Soekarno muda menuliskan gagasan brilian ini.

Baca juga: Pidato Bung Karno 1 Juni, Tonggak Sejarah Lahirnya Pancasila

Menurut Soekarno, ketiga ideologi ini memang memiliki perbedaan. Nasionalisme mementingkan bangsa dan persatuan di tengah perbedaan; Islam mementingkan Tuhan, spiritualitas, dan universalitas umat yang lintas bangsa; sementara sosialisme mementingkan perjuangan kelas demi emansipasi kaum buruh.

Namun, pikir Bung Karno, “Bukankah ketiga ideologi ini ingin dilenyapkan oleh penjajah, akibat sikap subversifnya terhadap penjajahan? Mengapa tidak bersatu?”

Salah satu koleksi Museum Nasional terkait kelahiran Pancasila. Gambar diambil pada 2 Juni 2017.KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Salah satu koleksi Museum Nasional terkait kelahiran Pancasila. Gambar diambil pada 2 Juni 2017.

Persatuan ini pun ia rumuskan secara teoretik. Maka, nasionalisme seharusnya bersatu dengan Islamisme karena kedua ide ini sama-sama menentang kezaliman.

Menurut Bung Karno, umat Islam di negeri mana pun selalu mencintai Tanah Air-nya. Di tengah hidup yang dijajah, bagaimana umat Islam tidak menjadi nasionalis?

Halaman:


Terkini Lainnya

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Nasional
Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Tak Dukung Anies Maju Pilkada DKI, PKS: Beliau Tokoh Nasional, Jangan Kembali Jadi Tokoh Daerah

Nasional
Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Zulhas Ungkap Arahan Prabowo soal Buka Pintu Koalisi

Nasional
Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Menpan-RB Minta Pemprov Kalbar Optimalkan Potensi Daerah untuk Wujudkan Birokrasi Berdampak

Nasional
Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Prabowo Mau Kasih Kejutan Jatah Menteri PAN, Zulhas: Silakan Saja, yang Hebat-hebat Banyak

Nasional
Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Selain Bima Arya, PAN Dorong Desy Ratnasari untuk Maju Pilkada Jabar

Nasional
Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Perkecil Kekurangan Spesialis, Jokowi Bakal Sekolahkan Dokter RSUD Kondosapata Mamasa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com