KOMPAS.com - Mudik erat kaitannya dengan perayaan Lebaran. Tradisi ini kerap dilakukan oleh banyak orang untuk bisa berkumpul bersama keluarga untuk merayakan hari raya.
Momen mudik biasanya dimanfaatkan oleh para perantau yang berada jauh di kota besar untuk kembali ke rumah. Setiap tahun, ribuan hingga jutaan orang terlibat dalam tradisi mudik ini.
Ada berbagai macam moda transportasi yang umum digunakan, mulai dari bus, kereta api, kapal laut, pesawat, mobil pribadi, hingga sepeda motor.
Tradisi ini begitu mengakar di masyarakat Indonesia, tak heran jika berlebaran tanpa mudik dirasa hampa oleh sebagian besar orang.
Terlepas dari semua itu, terdapat kisah menarik mengenai tradisi mudik dan hal yang terkandung dalam momentum ini. Berikut ulasannya:
Mudik atau pulang kampung menjelang Idul Fitri menjadi agenda utama dalam perayaan Lebaran. Tak ada yang tahu kapan dan siapa yang memulai kebiasaan ini, tak ada catatan khusus yang merangkumnya.
Namun, tradisi ini terus meningkat dari tahun ke tahun dengan antusiasme pemudik juga meningkat.
Menurut dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam," Silverio, saat diwawancara 6 Mei 2018 silam.
Ketika itu, kekuasaan Majapahit sampai ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Pihak kerajaan menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjadi pemimpin setempat.
Suatu ketika, mereka akan balik ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan melihat kampungnya. Hal ini yang sering dikaitkan dengan mudik di Nusantara.
Silverio menambahkan, selain Majapahit, mudik juga dilakukan dari Mataram Islam yang berada di daerah kekuasaan.
Setelah itu, istilah mudik baru tren pada 1970-an. Momen ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya.
Baca juga: Kisah Menarik di Balik Sejarah Mudik...
Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 1 April 1992, namun mudik telah melekat pada tiap insan Indonesia. Mereka berpendapat kalau tak mudik rasanya afdol.
Selain itu mudik bukanlah sekadar budaya saja, tetapi sudah menjadi sebuah tuntutan batin. Oleh karenanya, tidak heran kalau ada orang yang rela mengorbankan apa saja, hanya untuk bisa berlebaran di kampung.
Tidak peduli pulang kembali ke kota harus meminjam kepada orang lain. Semua itu kalah dengan "kebesaran" makna mudik.
Baca juga: Dari Mana Asal Kata Mudik dan Lebaran?
Sebenarnya tujuan dari perantau untuk mudik sangat luas sekali. Mereka kambali tak hanya untuk melihat kondisi kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga, ada tujuan yang lebih sakral, yakni sungkem (meminta maaf).
Momen sungkem ini biasanya dilakukan setelah shalat Ied. Kita melakukan sungkem kepada orangtua atau saudara yang lebih tua. Sungkem juga bagian dari silaturahmi.
Ketika sungkem sudah terpenuhi, maka ada tuntutan batin lainnya, yakni untuk ziarah ke makam leluhur, terutama nenek atau kakek. Tradisi ini sulit dihilangkan hingga sekarang.
Baca juga: Tradisi Ziarah Kubur saat Lebaran dan Manfaatnya, Menurut Sains
Mudik dilakukan secara besar-besaran ketika bulan Ramadhan hampir selesai. Banyak pertanyaan yang muncul kenapa mudik dilakukan secara besar-besaran pada waktu itu.
Semua terjawab pada relevansi dari hakikat Lebaran itu sendiri. Secara harfiah, Idul Fitri dikaitka dengan kembali kepada fitrah atau kesucian. Hal itu dikaitkan dengan ibadah puasa untuk bisa menahan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Saat menjalani ibadah selama sebulan penuh dan bertemu dengan Lebaran, ibarat seperti bayi-bayi yang baru lahir suci dari dosa- dosa.
Maka dari itu, mudik bisa dikonotasikan sebagai upaya pencarian manusia terhadap asal-usul kejadiannya. Banyak pemudik yang ingin berjumpa dengan kampung halaman dan keluarganya di kampung.
Dengan pulang ke kampung, manusia akan teringat tempat mencari jati diri di waktu kecil hingga remaja atau malah sampai dewasa. Sehingga, orang yang ingin melihat kampung halaman, secara tersamar sebenarnya ingin melihat masa lalunya.
Mudik memiliki filosofi tersendiri. Beberapa orang memiliki pendapat mengenai asal muasal kata ini. Ada yang mengatakan berasal dari akronim bahasa Jawa "mulih dhisik" yang artinya "pulang dulu sebentar".
Ada juga dari bahasa Betawi yakni "udik" yang berarti pulang kampung.
Bagaimanapun versinya, mudik mempunyai makna yang sama, yakni pulang kampung.
Sejarawan, JJ Rizal, mengatakan, secara bahasa, mudik memang asalnya dari kata "menuju ke udik" atau kembali ke desa.
Menurut Rizal, tidak ada catatan pasti kapan tradisi mudik ini berlangsung di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.