JAKARTA, KOMPAS.com - Usul pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen kasus kerusuhan 21-22 Mei 2019, yang dilontarkan Fraksi Partai Gerindra di DPR dinilai prematur.
Pembentukan TGPF diusulkan Gerindra untuk menginvestigasi dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat saat menangani demonstrasi hasil Pilpres 2019 di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berakhir ricuh.
"Saya melihatnya itu terlalu prematur," ujar anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Baca juga: Tito Karnavian Sebut 237 Polisi Terluka Saat Amankan Kerusuhan 21-22 Mei
Jika hasil investigasi Polri dinilai kurang komprehensif, maka Komisi III DPR dapat memanggil Kapolri dalam rapat kerja pengawasan.
Di sisi lain, kata Arsul, ada mekanisme pengawasan yang dapat digunakan untuk menelusuri dugaan kekerasan oleh aparat, yakni melalui Divisi Propam Polri, Kompolnas, Komnas HAM dan Ombudsman.
"Ya kita kasih kesempatan dulu kemudian nanti kita lihat hasilnya seperti apa. Kami yang di Komisi III kan nanti punya kewenangan juga hak untuk melihat itu semua dengan mengundang kapolri dalam satu rapat kerja pengawasan tentang hasil itu (investigasi)," kata Arsul.
Baca juga: BIN Yakin Dalang Kerusuhan 21-22 Mei Bakal Terungkap
Sebelumnya, anggota Fraksi Partai Gerindra Sodik Mudjahid mengusulkan agar DPR membahas pembentukan TGPF independen terkait kerusuhan yang terjadi di DKI.
Usul tersebut ia sampaikan saat mengajukan interupsi dalam Rapat Paripurna ke-18 DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
"Kami mengusulkan ada agenda pembahasan ini untuk mendesak pemerintah membentuk tim independen gabungan pencari fakta," ujar Sodik.
Wakil Ketua Komisi VIII itu menilai peristiwa kerusuhan dapat dikategorikan sebagai bencana nasional.
Baca juga: 3 Kelompok Perusuh yang Diduga Terlibat Kerusuhan 22 Mei 2019...
Dengan demikian, DPR harus mengambil sikap dan mendesak pembentukan TGPF untuk mengungkap peristiwa kerusuhan itu.
Di sisi lain, kata Sodik, banyak kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini belum dituntaskan.
Ia mencontohkan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, kasus Novel Baswedan dan kasus penembakan mahasiswa Trisakti 1998.
Menurut Polri, kerusuhan yang terjadi sudah direncanakan oleh kelompok penunggang gelap. Mereka ingin menciptakan martir agar memicu kemarahan rakyat terhadap aparat keamanan.
Berdasarkan keterangan Divisi Humas Polri, korban meninggal dunia akibat kerusuhan saat aksi protes terhadap hasil Pilpres 2019 berjumlah tujuh orang.
Sedangkan, satu korban aksi 22 Mei yang meninggal dunia teridentifikasi terkena peluru tajam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.