Bersama anak-anaknya di partai, Megawati menelan kepahitan itu, tanpa harus menyebar virus fitnah dan menyuburkan sak wasangka. Ia sangat surplus dengan teladan, bagaimana menjadi pemimpin yang damai.
Kepemimpinan Megawati menjadi semen perekat partainya dan bangsa ini.
Orang lain bisa menilai Megawati defisit dalam gagasan, tetapi ia sangat surplus dalam ihtiar menjahit benang-benang bangsa menjadi sebuah sulaman indah yang bernama Indonesia ini. Ia mampu menepikan ego dirinya untuk keutuhan bangsa.
Kesabaran Megawati itulah yang menjadi sumber legitimasi moral kepemimpinannya.
Ia memberi teladan bagaimana mengatur ritme emosi dalam politik. Kemampuannya dalam menjaga desah nafas, membuatnya bisa memiliki daya tahan luar biasa dalam permainan politik.
Megawati seolah pemain aikido yang handal, mematikan dengan tenaga lawan sendiri.
Tatkala dirinya dan partainya dalam puncak dizolimi, Megawati tidak pernah memberi instruksi ke para kadernya untuk marah dan mengamuk. Seluruh kadernya tunduk. Ia sungguh-sungguh pemimpin.
Kualitas kepemimpinan inilah yang dibayangkan oleh Max Weber: kepemimpinan kharismatik. Para politisi negeri ini, selayaknya berguru kepada Megawati, bagaimana menjadi pemimpin yang tidak menyemburkan api kemarahan.
Pada masa pemerintahannya, Megawati mendorong konsolidasi demokrasi di Indonesia. Ia melaksanakan pemilihan umum presiden secara langsung di tahun 2004, kendati sistem itu pula yang langsung mengorbankan dirinya.
Ia kalah oleh bekas menterinya sendiri, Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2004.
Sejak itu, Megawati memilih jalan sendiri. Ia seolah bertapa dalam kesenyapan. Ia melayarkan bahtera PDI Perjuangan di luar samudera gemerlap kekuasaan.
Sepuluh tahun lamanya ia menahan diri dari dorongan syahwat kekuasaan. Konon kabarnya, Megawati bersedia berseberangan paham dengan almarhum suaminya, Taufik Kiemas, demi mempertahankan prinsipnya, tidak ikut di atas pentas kekuasaan.
Ia ajeg, bersikap diam menjaga partai agar tak oleng oleh godaan. Ia berpolitik untuk mempertahankan martabat (dignity), bukan sekedar loncat sana, parkir di sini. Ia tidak ingin dicap sebagai seorang oportunis handal.
Dan di ajang Pemilu 2014, PDI Perjuangan menuai hasilnya, merebut suara terbanyak di antara 12 partai kontestan pemilihan umum.
Para kadernya, memandang bahwa pemimpinnya berjuang bukan karena haus kekuasaan belaka. Ini jugalah yang menjadi sumber legitimasi kepemimpinannya.