Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

20 Mei 1998, Saat Amien Rais Batalkan Acara di Monas untuk Hindari Korban Jiwa

Kompas.com - 20/05/2019, 17:18 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998 membuat para mahasiswa yang resah dengan kondisi negara mulai menyuarakan protesnya. Aksi demonstrasi semakin marak dilakukan, terutama saat Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk kali ketujuh pada Sidang Umum MPR yang dilakukan awal Maret 1998.

Aksi demonstrasi yang semula hanya dilakukan di kampus kemudian mulai dilakukan di jalan. Berbagai aksi protes pun dihadapi aparat keamanan dengan kekerasan, yang bahkan menyebabkan timbulnya korban jiwa.

Di Yogyakarta, aksi protes yang ditangani aparat dengan kekerasan menyebabkan tewasnya mahasiswa bernama Moses Gatutkaca pada 8 Mei 1998.

Kekerasan kembali terjadi pada 12 Mei 1998 saat mahasiswa Universitas Trisakti mulai turun ke jalan, keluar kampus untuk menuju Gedung DPR/MPR. Saat itu, empat mahasiswa tewas setelah diterjang peluru tajam aparat keamanan.

Baca juga: 20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 Itu?

Sementara itu, Soeharto yang baru saja pulang dari Mesir tak bisa berbuat banyak. Dalam acara KTT-G15, Soeharto menyampaikan kondisi perekonomian di Indonesia.

Namun, berita soal aksi mahasiswa lebih dominan daripada hasil dari acara tersebut. Aksi mahasiswa semakin besar untuk menuntut Soeharto mundur. The Smiling General itu terdesak.

Pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang tergabung dari puluhan perguruan tinggi mulai menguasai gedung DPR/MPR. Mereka mendesak pimpinan dewan untuk mengusulkan kepada MPR agar menyelenggarakan Sidang Istimewa dalam waktu sesegera mungkin dan menuntut Soeharto mundur.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998, suasana di DPR sangat ramai. Sejak pagi hari, secara bergelombang mahasiswa mendatangi gedung DPR dengan bus-bus maupun mobil pribadi.

Ketika itu terdapat sejumlah tokoh masyarakat yang dikenal vokal terhadap pemerintah, ikut berorasi di gedung DPR/MPR. Salah satunya adalah Amien Rais, yang saat itu merupakan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Baca juga: Konflik dan Pelanggaran HAM, Catatan Kelam 20 Tahun Reformasi

Momen Kebangkitan Nasional

Kendaraan tempur milik TNI terlihat berjaga di Lapangan Monumen Nasional pada 20 Mei 1998, menjelang jatuhnya Soeharto.KOMPAS/Johnny TG Kendaraan tempur milik TNI terlihat berjaga di Lapangan Monumen Nasional pada 20 Mei 1998, menjelang jatuhnya Soeharto.
Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Pada 20 Mei 1998, tepat 90 tahun Hari Kebangkitan Nasional, momen ini pun dimanfaatkan untuk mendesak Soeharto mundur.

Berbagai isu dan wacana berkembang saat Soeharto berusaha mempertahankan kekuasaannya. Saat itu, Soeharto memang merencanakan membentuk Komite Reformasi untuk mengawal dilakukannya pemilihan umum, sehingga dia dapat mundur dengan tenang.

Mahasiswa yang ingin Soeharto segera meletakkan jabatannya pun bereaksi. Mereka berencana akan melakukan long march dari Gedung DPR/MPR dan berkumpul di Monas.

Amien Rais merupakan salah satu tokoh dalam acara tersebut. Namun, menurut Amien, saat itu dia menerima telepon dari seorang petinggi TNI yang meminta acara itu dihentikan.

"Saya ditelepon dari Cilangkap (Mabes TNI). Saya betul-betul lupa namanya. 'Pak Amien Rais, saya Mayjen ini, jadi Pak Amien, tolong 20 Mei yang akan dijadikan syukuran reformasi di Monas, itu tolong dibatalkan'," kata Amien menirukan ucapan sosok misterius itu, dalam peringatan 20 Tahun Reformasi pada 21 Mei 2018.

Baca juga: Cerita Amien Rais soal 20 Mei 1998 dan Jakarta yang Mencekam...

Kepada Amien Rais, perwira TNI itu mengaku telah diminta untuk menghentikan aksi massa. Hal yang ditakutkan jika acara di Monas jadi dilakukan adalah berakibat fatal dan bisa membuat kekacauan.

Amien melanjutkan, tak tanggung-tanggung, jenderal itu mengatakan bahwa tentara tak segan menggunakan cara pembubaran massa seperti Peristiwa Tiananmen.

Dalam tragedi yang terjadi di China pada 1989 itu, demonstrasi mahasiswa dibubarkan oleh tentara hingga menyebabkan korban jiwa. Peristiwa itu menjadi dikenal dunia dengan foto ikonik mahasiswa yang mengadang tank.

Jakarta mencekam

Suasana Jakarta ketika pada 20 Mei 1998, menjelang jatuhnya Presiden SoehartoJOHNNY TG (JPE) Suasana Jakarta ketika pada 20 Mei 1998, menjelang jatuhnya Presiden Soeharto
Situasi Jakarta saat 20 Mei 1998 memang mencekam. Setiap ujung ruas jalan-jalan sekitar kawasan Monas, Istana Merdeka, Bina Graha, Jalan Cendana, Jalan Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Rasuna Said kemarin dijaga ekstra ketat oleh aparat keamanan.

Barikade berduri telah terpasang dengan baik. Pasukan Kopassus, Marinir, dan Kostrad juga menggelar puluhan tank dan panser, serta berbagai jenis senjata.

Bukan hanya kendaraan dan motor yang dilarang memasuki daerah terlarang itu, tetapi juga para pejalan kaki. Sebagian besar masyarakat menghentikan kegiatan bisnis dan kantornya sehingga banyak jalan lengang.

Setelah menerima telepon, Amien lantas menyampaikan informasi tersebut kepada para mahasiswa yang menguasai gedung DPR/MPR. Dia tak ingin terjadi pertumpahan darah.

Saat hari sudah berganti, sekitar pukul 02.00 WIB, 20 Mei 1998, Amien yang masih mengenakan sarung dan kemeja batik bergegas menuju Monas. Sesampainya di Monas ia melihat kawat berduri, para tentara, dan panser sudah berjejer memagari Monas.

Amien Rais lantas mendatangi sekumpulan tentara yang berjaga. Amien menanyakan apakah benar tentara akan membubarkan massa yang berkumpul pagi nanti.

"Saya mau tanya ke Anda semua, instruksinya apa?" tanya Amien.

"Pak Amien, kami belum ada instruksi. Tapi sudah disuruh berjaga di Monas ini. Semua pintu masuk ke Monas sudah dijaga dengan beberapa tank, panser, dan juga gulungan kawat berduri," ujar Amien menirukan jawaban tentara tersebut.

Akhirnya pukul 04.00 WIB, Amien dan sejumlah tokoh reformasi lainnya mengadakan konferensi pers. Mereka memindahkan lokasi demonstrasi ke gedung DPR/MPR, yang memang sudah dikuasai mahasiswa sejak 18 Mei 1998.

Demi menghindari korban jiwa, acara di Monas dibatalkan.

Imbauan Amien Rais berdampak positif terhadap situasi perpolitikan nasional. Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas pada 21 Mei 1998, imbauan itu juga menguatkan nilai tukar rupiah.

Rupiah ditutup pada posisi kurs Rp 11.000, menguat 1.300 poin dibanding Rp 12.300 pada penutupan sehari sebelumnya.

Selain itu, sikap Amien Rais itu didasari kondisi politik yang tak berpihak kepada Soeharto. Sebab, sejumah tokoh yang diminta Soeharto untuk duduk dalam Komite Reformasi menolaknya.

Mereka tak ingin terlibat dalam komite yang bertindak sebagai pemerintahan transisi selagi menunggu pemilu berikutnya untuk menggantikan Soeharto.

Karena desakan semakin kuat, pada 21 Mei 1998 Soeharto memutuskan mundur. Jenderal bintang lima itu akhirnya lengser keprabon.

Artikel tentang kejatuhan Soeharto dapat Anda baca dalam: VIK: Kejatuhan (daripada) Soeharto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com