SELAIN hasil penghitungan akhir, ada yang ditunggu publik yakni surat wasiat Prabowo. Entah mengapa disebut surat wasiat, apakah karena jelang penghitungan akhir atau ada hal lain.
Jika ditilik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat wasiat berarti pesan terakhir yang disampaikan seseorang, biasanya kepada ahli waris terkait dengan harta yang akan ditinggalkannya.
Tapi mungkin yang dimaksud Capres Prabowo Subianto adalah pesan terakhir sebelum pengumuman KPU pada Pemilu 2019.
Banyak kalangan memperkirakan, hampir bisa dipastikan isinya berkaitan dengan langkah Prabowo dan koalisinya menyikapi hasil pilpres 2019.
Dari informasi yang berkembang, semakin masif dilontarkan bahwa Tim Capres-Cawapres Prabowo-Sandi tidak akan membawa tudingan kecurangan ini ke Mahkamah Konstitusi.
"Jalur MK itu adalah jalur yang dianggap oleh teman-teman itu dianggap jalur yang sia-sia. Pengalaman dari yang lalu," kata Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Politisi Partai Berkarya, Titiek Soeharto.
"Kayanya kita ke MK enggak karena kita pernah pengalaman di 2014, kita ke MK, judulnya belum diperiksa, bukti-buktinya belum diperiksa, sudah diketok yang menang sebelah sana," kata Titiek, Jumat (17/5/2019).
"Jadi kayanya sekarang kita tidak akan ke MK lagi. Jadi, kita akan berjuang di jalanan!" lanjut Titiek.
Terkait hal ini, Ketua MK 2013 - 2015, Hamdan Zoelva kepada saya menjelaskan, bahwa seluruh putusan MK pada pemilu 2014 telah disidangkan dengan terbuka dan adil.
"Hasil sidang MK pada pemilu 2014, bisa dilihat dari putusannya. Sejak proses sidang di MK selalu dilakukan terbuka, termasuk seluruh poin hasilnya. Ada kecurangan yang terjadi pada pemilu 2014, tapi jumlahnya tidak signifikan mengubah perolehan suara, apalagi menganulir calon!" kata Hamdan kepada saya di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (18/5/2019).
Lepas dari perdebatan ini, jika hasil hitung cepat benar, bahwa Capres 01 Jokowi-Ma'ruf menang pada pemilu 2019, kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi lima tahun ke depan.
Presiden terpilih akan menghadapi stigma menang dengan cara curang. Meskipun, tudingan ini tidak terbukti secara hukum karena pihak penuding tidak membawanya dalam proses persidangan Mahkamah Konstitusi.
Meski begitu, kita bisa membayangkan, jutaan pendukung pasangan yang gagal pada pemilu ini akan selalu berpegangan pada tudingan yang tak terbukti ini.
Di sisi lain, baru saja diumumkan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memutuskan ada pelanggaran pada proses penghitungan KPU. Media sosial lalu ramai bahwa keputusan ini membuktikan adanya kecurangan.
Tapi, betulkah putusan itu mengindikasikan kecurangan terjadi masif?
Ada dua poin yang diputuskan Bawaslu:
Satu, menyatakan KPU terbukti secara sah melanggar tata cara dan prosedur dalam input data sistem informasi penghitungan suara atau Situng.
Dua, memerintahkan KPU untuk memperbaiki tata cara dan prosedur dalam input data sistem informasi pemungutan suara dalam situng.
Komisioner Bawaslu, Ratna Dewi Petalolo yang menjadi Majelis Sidang, kepada saya mengatakan, dua putusan Bawaslu terkait dengan Sistem Informasi Penghitungan KPU, tidak terkait dengan pengumuman Pemilu 2019.
Hasil Situng KPU adalah input tersendiri yang digunakan untuk akses publik terhadap hasil penghitungan dari Formulir C1.
Sementara, pengumuman KPU terkait hasil Pilpres 2019 dilakukan melalui penghitungan berjenjang yang sama sekali tidak terkait dengan Situng KPU.
Jadi pelanggaran pada Situng KPU tak memengaruhi hasil pengumuman Pemilu 2019 yang paling lambat diumumkan 22 Mei 2019 pekan ini.
Jika memang kubu 02 benar-benar tidak membawa tudingan kecurangan ke forum terbuka alias persidangan Mahkamah Konstitusi, apa yang akan terjadi?
Tampaknya, kecurigaan atas proses pemilu yang dianggap tidak berlangsung secara jujur dan adil akan terus terpelihara. Ini sesuatu yang seharusnya tidak perlu jika proses persidangan terbuka sesuai koridor hukum dan keadilan ditempuh.
Pilpres 2019 bisa jadi sebuah pelajaran agar tak lagi menggunakan syarat terlampau berat untuk memajukan calon Presiden. Ambang batas suara parlemen membuat dua kali pemilihan presiden hanya diikuti dua kandidat.
Sementara, pelaksanaan pemilu yang dilakukan serentak, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, memilih lima surat suara, ternyata pada praktiknya adalah proses yang rumit dalam proses penghitungannya.
Lelah dan kesalahan berbaur menjadi tudingan kecurangan. Tudingan kecurangan mestinya harus dibongkar melalui proses terbuka sesuai koridor konstitusi agar menjadi pelajaran bagi publik.
Tapi rasanya pupus sudah harapan, karena sinyal terlontar tak akan berujung di sidang MK.
Kecurigaan dipelihara sambil menunggu isi surat wasiat Prabowo.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!