KOMPAS.com - Peristiwa Geger Santet atau pembunuhan terhadap dukun santet yang terjadi di Banyuwangi pada 1998 sudah berlangsung lebih dari 21 tahun. Saat ini, setelah 21 tahun sejak Reformasi 1998, pengungkapan kasus hukumnya belum juga tuntas.
Peristiwa ini bermula dari pembunuhan akibat kesalahpahaman sekelompok orang mengenai santet. Bagi mereka yang tidak paham dengan sosiologi masyarakat Banyuwangi, santet diidentikkan dengan perbuatan kejam melalui perantara sihir.
Santet juga erat kaitannya dengan Banyuwangi. Bahkan stigma ini sudah dikenal oleh masyarakat di luar kota ini.
Padahal, menurut dosen Sejarah di IAIN Surakarta Latif Kusairi, terminologi masyarakat Banyuwangi yang kebanyakan terdiri dari suku Using, Jawa, dan Madura menilai santet tak identik dengan sihir jahat.
"Semua yang ada di Banyuwangi dianggap sebagai santet. Maksudnya santet ini sudah menjadi bagian dari masyarakat Banyuwangi," kata Latif dalam diskusi pada Kamis (16/5/2019) sore.
Dia melanjutkan, ada beberapa klasifikasi tersendiri mengenai santet yang ada di Banyuwangi. Klasifikasi ini berdasarkan dampak yang ditimbulkan akibat santet tersebut, yaitu santet merah, santet kuning, santet putih dan santet hitam.
Santet merah merupakan santet yang bersifat pelaris saja. Jika seseorang yang berjualan tak laku, maka biasanya menggunakan santet ini agar dagangannya laris.
Orang Banyuwangi menyebut ini juga dengan istilah santet, yang tentu berbeda dengan orang Jawa bagian Tengah.
"Minta pelaris untuk orang jualan saja di Banyuwangi disebut santet" kata Latif.
Baca juga: Mengenang Geger Santet, Tragedi Pembantaian di Banyuwangi pada 1998
Santet kuning merupakan santet bersifat memikat. Seperti "jaran goyang" dan "sabuk mangir" yang digunakan untuk memikat lawan jenis.
Sementara itu, santet putih biasanya dilakukan oleh kiai untuk menetralisasi santet merah, santet kuning, dan santet hitam. Biasanya kiai memberikan minuman khusus yang ditujukan oleh seseorang.
"Orang sakit meminta kesembuhan ke kiai dengan minum air yang sudah didoakan. Itu merupakan santet putih namanya," ujar Latif.
Adapum, santet hitam merupakan hal yang paling berbahaya. Melalui ilmu hitam ini, seseorang yang jadi sasarannya bisa mati.
Meski santet jadi bagian dari budaya, tentu saja tidak semua praktik santet itu dilakukan masyarakat Banyuwangi. Banyak anak-anak yang juga bisa melakukan teknik santet, karena sudah diturunkan dari orang tuanya masing-masing.
Pembunuhan terhadap dukun santer pada Februari 1998 bermula dari kesalahpahaman terhadap santet. Karena santet dianggap sebagai perbuatan sihir jahat, agresif, bahkan digunakan untuk membunuh orang.