Kita tunggu saja hasil resminya dengan sabar, waktu tidak akan lari, niscaya KPU akan memutuskan secara jujur dan transparan.
Jokowi sudah tahu
Sudah menjadi cerita umum di Jakarta, bahwa upaya "kudeta senyap” terhadap Jokowi terus berjalan, setidaknya sejak tahun 2017, ketika Jokowi sempat menyebut kata “gebuk”.
Di masa Orde Baru kata gebuk juga sempat membahana, sebagai cara mantan Presiden Soeharto untuk meredam lawan-lawan politiknya. Jokowi mengeluarkan kata itu sekadar sebagai peringatan. Berbeda dengan Soeharto yang memang otoriter, Jokowi sejatinya tidak memiliki bakat otoriter.
Bagi komunitas politik di Jakarta, isu upaya melengserkan Jokowi berhembus demikian kencangnya, sebagaimana tergambar dalam media sosial.
Memang teks dalam media sosial acapkali berlebihan (hoaks), namun itu sudah cukup menjelaskan, bahwa memang tekanan pada Jokowi. Dan bagi yang sempat terjun ke lapangan, konflik elite di Jakarta bisa disaksikan secara kasat mata.
Saya tidak akan menjelaskan gerakan itu secara detail, namun secara singkat bisa disebutkan, inilah sumber ketidaknyamanan kehidupan masyarakat akhir-akhir ini.
Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 sudah cukup memberi pelajaran, bagaimana politik identitas diolah sedemikian rupa, demi ambisi kekuasaan sebagian kecil elite.
Residu sosial sebagai dampak pertarungan di Pilpres itu masih terasa sampai hari ini, meskipun sudah lewat hampir sebulan
Metafora paling pas untuk menggambarkan perilaku elite pemburu kekuasaan adalah "Raja Sehari” yang biasa kita lihat dalam panggung kesenian tradisional, seperti ketoprak atau lenong. Meskipun hanya sehari atau sesaat, namun sudah bisa tercatat dalam sejarah, kira-kira begitulah angan-angan para elite pemburu kekuasaan tersebut.
Narasi di atas merupakan konteks yang menjadi latar belakang, mengapa Jokowi terpaksa harus mengeluarkan jurus pamungkas.
Dalam bacaan saya, penggunaan gebuk merupakan cara Jokowi mendorong revolusi mental, yang dia dengungkan saat kampanye menjelang Pilpres 2014 dulu. Tentu Jokowi paham, soal kecenderungan masyarakat kita, khususnya bagi elite yang sangat menyanjung kekuasaan.
Jiwa Besar Mr Assaat
Pada titik ini kita perlu banyak belajar pada Mr Assaat, mantan Presiden RI yang tidak pernah diakui, namun beliau tetap legawa, tidak pernah protes atau menggugat.
Bagi generasi now, bisa jadi nama Mr Assaat adalah nama yang asing, sehubungan namanya sudah jarang disebut-sebut lagi, beda dengan figur lain seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.