SELALU ada yang linier dalam sejarah. Menjelang peringatan Peristiwa Mei 1998, istilah people power kembali muncul.
Benar, dalam Peristiwa Mei 1998, people power bergerak serentak menumbangkan rezim Soeharto yang sangat otoriter. Rakyat sudah tidak tahan lagi, kesabaran sudah habis, sehingga melahirkan gelombang gerakan yang dahsyat, sampai akhirnya Soeharto bersedia mundur pada 21 Mei 1998.
Sementara wacana people power yang hari-hari ini digaungkan, memiliki makna yang sedikit berbeda. People power biasanya muncul saat menghadapi pemimpin yang tiran, seperti saat rakyat Filipina melawan kekuasaan Presiden Marcos, pada pertengahan decade 1980-an, dan pengalaman kita sendiri dua dasawarsa kemudian.
Baca juga: Aktivis 98: Syarat-Syarat People Power Tak Terpenuhi di Era Sekarang
Sementara people power yang diwacanakan hari ini adalah untuk memprotes hasil perhitungan KPU (Komisi Pemilihan Umum) terkait hasil perhitungan Pilpres 2019, bukan sebuah tindakan protes terhadap rezim otoriter, sebagaimana pemahaman selama ini.
Dalam pandangan penulis, yang pada Mei 1998 terlibat langsung dalam aksi massa di jalanan, konsep people power yang sekarang coba dimunculkan, terasa anomali.
Perhitungan KPU adalah bagian dari proses demokrasi dalam mencari seorang pemimpin negeri (presiden), mengapa pula harus memakai people power untuk memprotesnya. Melawan proses yang jelas-jelas demokratis dan transparan, sungguh sulit diterima nalar.
Legawa
Dalam khazanah kearifan lokal tentang nilai-nilai kepemimpinan, salah satu yang kita kenal adalah legawa. Kosa kata ini berasal dari bahasa jawa, yang kira-kira artinya besar hati atau ikhlas (seikhlas-ikhlasnya).
Dihubungkan dengan konteks Pilpres 2019, legawa mengandung makna, ikhlas menerima kekalahan dan tetap rendah hati dalam kemenangan.
Baca juga: Amien Rais Ganti Istilah People Power dengan Gerakan Kedaulatan Rakyat
Bagi sebagian elite politik yang berencana menggalang people power sebagai respons terhadap hasil rekapitulasi KPU, menunjukkan sikap tidak legawa. Saya kira gerakan people power seperti itu adalah kesia-siaan belaka.
Masyarakat kita sudah lelah menghadapi kampanye dengan mengangkat isu politik identitas atau primordial, sejak Pilkada DKI 2017, yang terus berlanjut hingga Pilpres 2019.
Benar, rangkaian kampanye dalam Pilpres benar-benar menguras energi dan dana. Bagaimana tidak, kampanye telah berjalan sekitar tujuh bulan. KPU menggelar lima kali debat.
Masing-masing paslon presiden-wakil presiden, sudah berkeliling ke seluruh penjuru Tanah Air. Tentu rakyat sudah memiliki penilaian sendiri.
Penilaian rakyat sudah ditentukan pada Rabu (17 April). Dalam hitung cepat sore hari itu juga, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin diunggulkan bakal memimpin Indonesia periode 2019-2024, dengan raihan suara berkisar 54-55 persen suara.
Bila kubu Prabowo tetap mengklaim sebagai pemenang, berdasarkan survei internal, boleh-boleh saja itu dilakukan, tanpa harus memobilisasi massa.