KOMPAS.com - Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998 berbuntut panjang. Mahasiswa sebagai "agent of change" tak terima dengan kondisi itu dan melakukan aksi demonstrasi menuntut perubahan kepemimpinan nasional.
Aksi mahasiswa ini semakin masif saat Soeharto kembali terpilih sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR pada Maret 1998. Gerakan meluas ke berbagai kampus di Indonesia. Dampaknya begitu jelas, bentrokan dan kerusuhan dengan aparat keamanan tak terelakkan.
Korban meninggal dan luka-luka semakin banyak mengiringi aksi mahasiswa. Gerakan mahasiswa semakin panas setelah terjadi Tragedi Trisaksi yang menewaskan empat mahasiswa. Mereka tewas karena ditembak dengan peluru tajam.
Setelah peristiwa itu, suasana Jakarta semakin memanas. Aksi damai untuk menyerukan belasungkawa terhadap mahasiswa Universitas Trisakti yang meninggal berujung kerusuhan. Beberapa titik di Jakarta terjadi kerusuhan pada 13 dan 14 Mei 1998.
Ketika peristiwa itu terjadi, Soeharto sedang berkunjung ke Mesir untuk menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15.
Entah ada hubungannya atau tidak dengan kekacauan di Indonesia, Soeharto akhirnya mempersingkat sehari masa kunjunganya. Soeharto kembali ke Indonesia pada 14 Mei 1998 melalui Bandara Kairo menuju Jakarta.
Baca juga: 20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 Itu?
Krisis moneter di Asia menjadi salah satu agenda utama pertemuan G-15 atau kelompok 15 negara berkembang yang bertempat di Kairo, Mesir pada Mei 1998.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 12 Mei 1998, pertemuan di Kairo Mesir ini juga membahas agar krisis moneter seperti di Asia tidak terulang dan tidak menjalar ke tempat lain. Selain itu, pertemuan juga untuk meningkatkan kerja sama di antara negara berkembang.
Ketika itu negara yang tergadung dalam K-15 adalah Aljazair, Argentina, Brasil, Cile, India, Indonesia, Jamaica, Malaysia, Meksiko, Mesir, Nigeria, Peru, Senegal, Venezuela dan Zimbabwe.
Melalui KTT, para pemimpin Asia, Afrika, dan Amerika Latin memaparkan problematika yang tipikal ada di negara berkembang. Soeharto ketika itu mewakili Asia menyampaikan apa dialami negara berkembang. Sementara itu, Presiden Aljazair Liamine Zeroual yang mewakili Afrika.
Dalam pidatonya, Soeharto menegaskan kembali kepada dunia, Indonesia akan terus melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi krisis ekonomi dan krisis moneter melalui serangkaian reformasi di bidang ekonomi dan keuangan. Ini termasuk yang telah dan sedang dilakukan bersama-sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
"Agar upaya tadi berhasil, maka diperlukan pengorbanan, kesabaran, dan disiplin yang tinggi," kata Presiden dalam pidato sekitar 15 menit pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara Kelompok 15 (G-15) ke-8 di Cairo, Mesir.
Baca juga: Cerita Wartawan Kompas Jelang Runtuhnya Kekuasaan Soeharto...
Soeharto juga menyatakan bahwa dengan terjadinya krisis, keberhasilan Indonesia dalam menghapuskan kemiskinan menurun tajam.
Dari 1970 hingga 1996, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun dari sekitar 60 persen menjadi hanya 11 persen.
Akibat dari krisis, tak kurang dari satu tahun Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat kembali.