Dengan jumlah pengangguran muda yang meningkat drastis, di mana penduduk India lebih dari 65 persen kelompok muda (di bawah umur 35 tahun), pamor Modi semakin meredup.
Alasan selanjutnya adalah ketidakpuasan publik atas pengelolaan isu kasta. Di mana kasta pendukung utama Modi berbalik arah karena ada perlakuan yang merugikan pada aspek ekonominya. Bahkan tanah ulayat milik mereka diubah menjadi tanah publik untuk pembangunan tanpa ganti rugi yang memadai.
Ketidakpuasan mereka tersebut terlampiaskan di kotak suara di tiga negara bagian yang menjadi basis utama Partai BJP.
Di Indonesia, isu agama bisa berbalik memangsa Jokowi jika tidak mampu dikelola dengan baik melalui kebijakan-kebijkan distribusi kesejahteraan yang lebih adil.
Tak bisa dimungkiri, selama ini Jokowi acap kali dipertentangkan dengan isu agama, mulai dari kriminalisasi ulama, membela penista agama, pembubaran ormas keagamaan, dan lain-lain.
Kemudian, penyebab lainnya adalah makin kukuhnya dinasti Nehru di bawah kepemimpinan Rahul Gandhi dalam mengelola Partai Kongres. Sehingga Partai Kongres mampu memenangi pemilu di tiga Negara bagian utama tersebut.
Bahkan yang mengejutkan, tidak ada analis politik dan hasil survei sebelumnya yang memenangkan partai cicitnya Nehru tersebut. Tapi terbukti, kerja Rahul Gandhi tidak sia-sia.
Dengan gaya kampanye yang energik dan didukung oleh usianya yang masih muda (48 tahun), ganteng, kaya, humble, serta merakyat, maka Partai Kongres berhasil merebut kemenangan yang gemilang di kandang lawan, yang sebelumnya belum pernah dimenangi oleh Partai Kongres.
Konon, pembalikan preferensi pemilih tersebut terjadi dalam masa kampanye tiga bulan saja di mana Rahul berpidato rata-rata dua jam pada 82 kali pertemuan raksasa yang melibatkan jutaan pemilih.
Oleh karena itu, Partai BJP harus segera mengubah taktik kampanyenya untuk dapat bertahan di New Delhi.
Selain India, Jokowi juga layak belajar dari peristiwa terbaru di Perancis. Situasi Prancis saat ini terus diwarnai demonstrasi berkepanjangan.
Menjelang dua tahun berkuasa, Presiden Emmanuel Macron dinilai tidak peduli terhadap warga biasa walau ia diusung Partai Sosialis.
Ia dianggap telah mengkhianati janjinya untuk mereformasi ekonomi dan pasar tenaga kerja. Demonstrasi yang digerakkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Gilet Jaune atau Rompi Kuning itu digelar sejak 17 November 2018 hingga 12 Januari 2019.
Asal demonstran beragam dan dari hari ke hari kian meluas. Semula hanya para pembayar pajak dari kalangan pekerja (industri) dan kelas menengah, lalu diikuti kaum perempuan, pemuda, dan mahasiswa.
Bahkan data mutakhir menunjukkan bahwa demonstrasi telah melibatkan 282.000 orang dan menyebabkan 10 orang tewas--termasuk polisi, hampir 1.000 terluka, 1.723 ditangkap, dan 1.220 ditahan.