Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernyataan Wiranto soal Tutup Media, Kontroversi dan Penjelasannya...

Kompas.com - 08/05/2019, 11:23 WIB
Fabian Januarius Kuwado,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto tentang menutup media yang melanggar hukum, menjadi polemik di publik.

Salah satu tokoh oposisi Fahri Hamzah menyesalkan pernyataan Wiranto itu. Menurut ia, kebebasan saat ini seharusnya sudah menjadi harga mati.

"Kebebasan ini harga mati. Kapasitas pemerintah lah yang harusnya disesuaikan dengan kebebasan masyarakat," ujar Fahri saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (6/5/2019).

Baca juga: Wiranto Ancam Tutup Media, Fahri Hamzah Sebut Pemerintah Panik

Ia berpendapat, jangan karena pemerintah panik atas ekspresi kebebasan di masyarakat, kemudian malah menutup salah satu saluran berekpresi, yakni media.

Apabila ada informasi yang salah di media, termasuk media sosial, seharusnya pejabat negara tinggal meluruskannya saja melalui mekanisme yang ada. Jangan justru menutup media tersebut.

"Jawab dong, jangan panik. Masak segini banyak orang yang di pemerintahan, jago-jago, dapat gaji, dapat mobil dinas, enggak bisa menjawab? Enggak bisa menjelaskan di media apa yang bisa bikin tenang di masyarakat," lanjut Fahri.

Baca juga: Dewan Pers Minta Wiranto Klarifikasi soal Ancaman Menutup Media

Pengamat politik Universitas Gajah Mada Nyarwi Ahmad sedikit banyak setuju dengan pernyataan Fahri.

Menurut dia, kebijakan yang diterbitkan pemerintah memang harus tetap mengedepankan prinsip demokrasi, salah satunya yaitu kebebasan berpendapat di muka umum, juga di media sosial. Termasuk ekspresi politik.

Oleh sebab itu, Ahmad menilai, Wiranto harus menjelaskan lagi ke publik mengenai apa maksud pernyataannya itu.

Baca juga: Wiranto Bantah Akan Tutup Media Massa

"Sebab, kalau tidak hati-hati, kebijakan seperti ini bisa dipandang sebagai bentuk alat kontrol menguatnya gejala otoritarianisme pada pemerintahan Pak Jokowi," ujar Ahmad.

Sebenarnya, bagaimana persisnya pernyataan Wiranto mengenai menutup media yang melanggar hukum di Indonesia?

Di kantornya, Senin (6/5/2019), Wiranto mengatakan bahwa pascapemilu banyak upaya pelanggaran hukum yang terjadi di media sosial. Sejumlah tindakan pun telah diambil Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyikapi pelanggaran yang terjadi di media sosial.

Baca juga: Ini Penjelasan Istana soal Pernyataan Wiranto Ancam Tutup Media di Indonesia

Namun Wiranto mengatakan, perlu diambil tindakan hukum yang lebih tegas agar pelaku jera dan berhenti melakukan pelanggaran tersebut.

Salah satunya yakni dengan menindak secara hukum media yang membantu pelanggaran hukum.

"Mungkin perlu melakukan yang lebih tegas lagi. Media mana yang nyata-nyata membantu melakukan suatu pelanggaran-pelanggaran hukum, kalau perlu kami shut down. Kami hentikan, kami tutup enggak apa-apa. Demi keamanan nasional," ujar Wiranto.

Baca juga: Wiranto: Kalau Langsung Ditindak, Nanti Pemerintah Jokowi Dituduh Diktator

"Ada undang-undang, ada hukum yang mengizinkan kita melakukan itu. Sekali lagi ini demi tegaknya NKRI yang kita cintai. Demi masyarakat yang ingin damai. Masyarakat yang mendambakan kedamaian. Terutama di bulan suci Ramadhan," lanjut dia.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meluruskan pemahaman masyarakat yang timbul atas pernyataan yang diungkapkan Wiranto mengenai menutup media yang membantu pelanggar hukum itu.

Menurut Moeldoko, yang dimaksud Wiranto adalah media yang tidak kredibel alias abal- abal.

"Sebenarnya, arah yang dituju Menko Polhukam adalah terhadap akun-akun atau media yang abal-abal, yang sungguh-sungguh meresahkan. Itu memang perlu dipertimbangkan ya," ujar Moeldoko saat dijumpai di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (7/5/2019).

Baca juga: Wiranto: Ada yang Bilang, 70 Persen TNI Bisa Dipengaruhi Bertindak Inkonstitusional, Itu Tidak Benar!

Moeldoko mengatakan, media yang tidak kredibel selama ini seringkali tidak memiliki tanggung jawab dalam pemberitaan. Hal itu membuat demokrasi di dalam negeri menjadi kacau balau.

Selain itu, keberadaan media itu juga mencemari perusahaan media yang kredibel serta profesional.

"Menko Polhukam justru membela para media mainstream yang sudah sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berdedikasi tinggi bagi bangsa dan negara," ujar Moeldoko.

Baca juga: Wiranto: Ada Tokoh di Luar Negeri, Setiap Hari Ngompori dan Menghasut Masyarakat

Ia pun meminta masyarakat tidak salah paham dengan pernyataan Wiranto itu. Apalagi sampai ada yang mengatakan bahwa pernyataan Wiranto menjadi salah satu indikator kembalinya Orde Baru.

"Jadi ini rakyat sudah ribut duluan. Apalagi katanya pemerintah sekarang lebih dari Orde Baru. Tidaklah. Kita menginginkan semuanya berjalan dengan baik," ujar Moeldoko.

Kompas TV Rencana pembentukan tim hukum nasional untuk mengkaji ucapan dan pemikiran tokoh publik yang dianggap melanggar hukum menuai pro dan kontra. Tak sampai disitu menkopolhukam juga menegaskan akan menutup media yang membantu pelanggaran hukum. Sedarurat apa kondisinya sehingga tim hukum nasional ini dibutuhkan? Bagaimana pemerintah menjamin hal ini tidak menabrak kebebasan berdemokrasi? Kita bahas di bersama Deputi Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo. Serta peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris. #TimPengkajiUcapan #KemenkoPolhukam

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com