BEBERAPA waktu lalu, Universitas Gadjah Mada (UGM) menominasikan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian. Upaya ini berdasar kontribusi penting kedua organisasi masyarakat tersebut sebagai pilar perdamaian, baik di Indonesia maupun dunia internasional.
NU dan Muhammadiyah telah terlibat dalam proses yang panjang untuk perjuangan kemerdekaan di Indonesia, menjaga serta menyelaraskan demokrasi sesuai dengan tujuan beragama, serta memainkan peran signifikan dalam lobi-lobi perdamaian di dunia internasional.
Pusat Studi Keamanan (PSK) Universitas Gadjah Mada sedang menyiapkan berkas-berkas dan dokumen pendukung untuk nominasi ini, sebagaimana dilansir Kompas (19/1/2019). Prof Bob Hefner, Indonesianis dan Guru Besar di Boston University, Amerika Serikat, juga mengupayakan hal yang sama, menominasikan NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar yang berkontribusi strategis untuk membangun peradaban dunia yang damai.
Dalam sejarah panjangnya, NU dan Muhammadiyah memiliki jasa besar dalam merawat imajinasi kebangsaan. Kedua organisasi ini juga turut menjadi tulang punggung pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, peran yang signifikan sebagai aktor perdamaian di ranah internasional juga menjadi catatan historis yang penting.
NU, berkontribusi dalam proses perdamaian di Afghanistan yang masih berlangsung hingga kini. Beberapa Kiai NU datang ke Afghanistan untuk berdialog, silaturahim, hingga saling memberi pengertian pentingnya perdamaian. Dari dialog itu, muncul inisiasi damai antar-kabilah atau suku di Afghanistan, yang dimoderasi oleh kiai-kiai pesantren.
Di situ, NU memberi tawaran ide serta mekanisme untuk mendamaikan agama dan negara, sebagai bagian dari kehidupan keislaman-kebangsaan. Proses tersebut berlangsung hingga kini, dengan terbentuknya NU Afghanistan, yang menjadi pelopor perdamaian serta rumah bersama antar-muslim di Afghanistan. Upaya ini berlangsung dengan dukungan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri.
Di wilayah konflik Timur Tengah, sejak lama, NU menyiapkan upaya-upaya strategis untuk membangun perdamaian di antara negara-negara yang berkonflik, khususnya konflik Israel-Palestina. Sejak kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU telah menginisiasi dialog-dialog untuk mendukung perdamaian Israel-Palestina.
Hal ini dikarenakan, menurut pengalaman panjang Gus Dur, konflik Israel-Palestina berpengaruh pada konstelasi politik Timur Tengah, dan bahkan peta diplomasi dunia. Membangun perdamaian di Timur Tengah tidak bisa lepas dari penanganan konflik panjang antara Israel dan Palestina.
Diplomasi perdamaian ini dilanjutkan kader-kader Gus Dur yang turut membangun komunikasi diplomatik untuk menjadi juru damai di kawasan-kawasan konflik. Meneruskan langkah Gus Dur, KH Yahya C Staquf (Gus Yahya) memberi tawaran-tawaran perdamaian untuk Israel-Palestina. Meski menuai kritik di media sosial, Gus Yahya tetap melenggang dan yakin dengan strategi perdamaiannya.
Selain itu, di beberapa kawasan krisis, semisal krisis Suriah, Yaman, atau Uighur di China, NU mendorong perdamaian, baik dengan mengirimkan delegasi maupun memberi dukungan moral untuk perdamaian di level internasional.
Ormas Muhammadiyah juga berjasa penting dalam diplomasi keamanan dan resolusi konflik di Mindanao, Filipina Selatan, Filipina, serta konflik di Thailand Selatan, Thailand. Muhammadiyah mendorong perdamaian di kawasan Mindanao terkait dengan aksi kelompok separatis Abu Sayyaf. Di Thailand Selatan, Muhammadiyah menggunakan pendekatan soft-power untuk menciptakan stabilitas di kawasan itu, menggunakan jalur dakwah dan perdamaian.
World Peace Forum yang diprakarsai Muhammadiyah bersama dengan Center for Dialogue and Coorporation among Civilisations (CDCC), menjadi ruang bersama antar-aktivis nasional dan internasional untuk bersama menyiapkan gagasan serta menginisiasi perdamaian dunia.
Para pimpinan organisasi ini juga aktif menjadi aktor perdamaian level dunia, serta menjadi anggota International Contact Group (ICG) pada proses perdamaian antara MILF serta pemerintah Filipina.
Ketika terjadi krisis terhadap muslim Uighur, di provinsi Xinjiang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkeras pula mendesak pemerintah China menyelesaikan konflik seraya menawarkan diri sebagai juru damai.
“... Mengimbau kepada pemerintah Tiongkok untuk membuka diri dengan memberikan penjelasan yang sebenarnya mengenai keadaan masyarakat Uighur, dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi berbagai masalah dan tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan,” demikian pernyataan yang disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir pada 19 Desember 2018.
Muhammadiyah juga mendesak PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk menindaklanjuti kasus Uighur, seraya mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan internasional. Muhammadiyah menyatakan pula siap untuk menggalang dukungan kemanusiaan dan material untuk perdamaian.
Selain krisis muslim Uighur, Muhammadiyah pun bersikap lantang dalam kasus-kasus kemanusiaan di Timur Tengah, di antaranya kasus-kasus yang terjadi di Suriah, pada awal 2018.
Dari jejak panjang NU dan Muhammadiyah dalam diplomasi perdamaian ini, Pusat Studi Keamanan UGM merekomendasikan Nobel Perdamaian untuk dua organisasi besar ini.
Tentu saja, Nobel Perdamaian bukan tujuan utama, karena pengabdian kemanusiaan merupakan inti nilai-nilai kemaslahatan yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah. Namun, Nobel Perdamaian menjadi simbol betapa perjuangan kedua organisasi ini berdampak dan bermakna di level internasional.
Langkah panjang dan jangkauan diplomasi kebudayaan yang diselenggarakan NU-Muhammadiyah menjadi jalur penting untuk melengkapi diplomasi internasional yang dikembangkan Pemerintah Indonesia. Kedua jalur diplomasi, yakni diplomasi resmi pemerintah dan diplomasi melalui ormas (second track diplomation), harus berjalan seiring dan saling melengkapi.
Seusai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 ini, tantangan-tantangan diplomasi perdamain masih menanti NU dan Muhammadiyah, di panggung internasional. Juga, pemerintahan yang akan datang, dengan formasi kabinet yang diharapkan lebih segar, haruslah dapat menampilkan kinerja lebih baik untuk menempatkan Indonesia sebagai juru damai konflik-konflik di berbagai kawasan dunia.
Tentu saja, ini bukan hal sederhana, bukan hal mudah. Akan tetapi, kita memiliki nilai-nilai, tokoh-tokoh, infrastruktur, dan dukungan dari perangkat kebudayaan yang memungkinkan Indonesia menjadi aktor kunci diplomasi perdamaian di level internasional. Bukankah begitu?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.