DEPOK, KOMPAS.com - Syarat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dinilai ikut berperan dalam meninggikan tensi politik pada pemilihan umum 2019. Mahkamah Konstitusi dianggap berperan mengukuhkan syarat tersebut.
"Kenapa tensi pilpres jadi keras dan memancing emosi, ini salah satunya karena dosa MK mengenai open legal policy," ujar Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Evaluasi Pemilu Serentak 2019 di Gedung FHUI, Depok, Selasa (30/4/2019).
Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.
Baca juga: Denny Indrayana: Indonesia Satu-satunya Negara di Dunia yang Terapkan Presidential Threshold
Pasal tersebut pernah digugat ke MK. Namun, MK menyatakan menolak permohonan uji materi. Menurut MK, syarat ambang batas tersebut tidak melanggar konstitusi.
Menurut Charles, aturan presidential threshold itu menggagalkan publik mendapat pilihan calon pemimpin yang variatif. Secara tidak langsung, pemilih dikelompokan ke dalam dua kubu calon presiden.
Akibatnya, masyarakat lebih mudah terpancing emosi politik. Menurut Charles, halnya akan berbeda ketika ada lebih banyak calon presiden dan masyarakat tidak terpecah hanya ke dalam dua kubu.
Charles mengatakan, jika syarat ambang batas pencalonan tersebut tetap dipertahankan, dikhawatirkan tensi politik yang memanas akan terus terjadi dalam pemilihan presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.