JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo akan mencari jalan tengah yang menguntungkan buruh dan juga pengusaha dalam merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Presiden sangat memerhatikan itu, intinya bagaimana buruh tak ada yang dirugikan, tapi di sisi lain ada juga kepastian bagi pengusaha agar tak dirugikan," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Adapun wacana revisi ini muncul setelah Presiden Jokowi bertemu sejumlah pimpinan organisasi buruh di Istana Bogor, Jumat pagi tadi.
Baca juga: Bertemu Pimpinan Organisasi Buruh, Jokowi Setuju PP 78/2015 Direvisi
Pimpinan buruh yang hadir, Presiden KSPI Said Iqbal, Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea, Presiden KSBSI Mudofir, Presiden KPBI Ilhamsyah, Presiden Saburmusi Syaiful dan Presiden KSN Muchtar. Dalam pertemuan tersebut, Presiden didampingi Moeldoko dan juga Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri.
Namun, Moeldoko belum bisa mengungkapkan formula atau konsep pengupahan seperti apa yang bisa menguntungkan buruh sekaligus pengusaha. Yang jelas, ia memastikan bahwa perwakilan kedua pihak akan turut diajak dalam membahas revisi PP ini.
"Tadi baru diskusi. Substansinya Presiden memerintahkan menaker untuk segera memikirkan hal ini. Dipikirkan dengan berbagai pihak, dari sisi pemerintah, dari sisi buruh dan sisi pengusaha bagiamana," kata Moeldoko.
Baca juga: Bertemu Presiden Jokowi, Pimpinan Organisasi Buruh Sepakat Jalani May Day dengan Damai
Setelah Presiden Jokowi meneken PP itu kemudian diundangkan pada tanggal 23 Oktober 2015, sejumlah elemen buruh menyatakan penolakannya. Mereka menolak atas beberapa alasan. Pertama, serikat pekerja tidak dilibatkan dalam penerbitan PP tersebut.
Kedua, upah minimum yang diatur dalam PP ternyata masih berada di bawah negara-negara ASEAN. Selain itu, serikat pekerja menyebut, formula kenaikan upah minimum pada PP itu hanya didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, semestinya didasarkan pada kebutuhan hidup layak.