JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, pegawai dan pimpinan KPK sudah bertemu membahas petisi soal potensi hambatan dalam penanganan kasus.
Petisi itu berjudul, "Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus".
"Sudah berkumpul ya para pegawai dan pimpinan mendengar apa yang disampaikan secara langsung dan secara detail. Sehingga di sana sudah tergambar apa poin-poin yang harus dilakukan lebih lanjut," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (24/4/2019) malam.
Menurut Febri, hasil rapat pertemuan itu akan didiskusikan lebih lanjut oleh kelima pimpinan KPK. Namun demikian, kelima pimpinan belum bisa bertemu secara lengkap karena sebagian sedang dalam tugas.
"Pimpinan masih ada penugasan, ada yang di Jakarta, di daerah lain, ada juga penugasan di luar negeri untuk kegiatan KPK, nanti kalau sudah ada jadwal untuk bertemu maka segera akan dibahas bersama," kata dia.
Baca juga: Geledah Kantor Wali Kota, KPK Sidik Dugaan Korupsi di Tasikmalaya
Petisi itu menjelaskan, belakangan ini jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara sampai ke tingkat pejabat yang lebih tinggi, kejahatan korporasi, maupun ke tingkatan tindak pidana pencucian uang.
Petisi itu mengungkap 5 poin yang berbunyi sebagai berikut:
Penundaan pelaksanaan ekspose penanganan perkara dengan alasan yang tidak jelas dan cenderung mengulur-ngulur waktu hingga berbulan-bulan sampai dengan perkara pokoknya selesai. Hal tersebut berpotensi menutup kesempatan untuk melakukan pengembangan perkara pada tahapan level pejabat yang lebih tinggi serta hanya terlokalisir pada level tersangka/jabatan tertentu saja.
Beberapa bulan belakangan hampir seluruh Satgas di Penyelidikan pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi tangkap tangan yang sedang ditangani karena dugaan adanya kebocoran Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Kebocoran ini tidak hanya berefek pada munculnya ketidakpercayaan (distrust) diantara sesama pegawai maupun antara pegawai dengan struktural dan/atau Pimpinan, namun hal ini juga dapat mengakibatkan tingginya potensi risiko keselamatan yang dihadapi oleh personil yang sedang bertugas di lapangan.
Pengajuan saksi-saksi pada level jabatan tertentu, ataupun golongan tertentu menjadi sangat sulit. Hal ini mengakibatkan hambatan karena tidak dapat bekerja secara optimal dalam mengumpulkan alat bukti.
Selain itu, terdapat perlakukan khusus terdapat saksi. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu terdapat perlakuan istimewa kepada saksi yang bisa masuk ke dalam ruang pemeriksaan melalui pintu basement, melalui lift pegawai, dan melalui akses pintu masuk pegawai di lantai 2 Gedung KPK tanpa melewati Lobby Tamu di Lantai 1 dan pendaftaran saksi sebagaimana prosedur yang seharusnya.
Tanpa alasan obyektif, seringkali pengajuan lokasi penggeledahan pada kasus-kasus tertentu tidak di ijinkan.
Penyidik dan Penyelidik merasakan kesempatan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti semakin sempit, bahkan hampir tidak ada. Selain itu, pencekelasan terhadap orang yang dirasakan perlu dilakukan pencekalan tidak disetujui tanpa argumentasi yang jelas. Hal ini dapat menimbulkan berbagai prasangka.
Beberapa pelanggaran berat yang dilakukan oleh oknum di penindakan tidak ditindaklanjuti secara gamblang dan transparan penanganannya oleh pihak Pengawas Internal.
Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan pegawai, apakah saat ini KPK sudah menerapkan tebang pilih dalam menegakkan kode etik bagi pegawainya.
Baca juga: Pegawai Petisi Pimpinan KPK soal Potensi Hambatan Penanganan Kasus
Di satu sisi, kode etik menjadi sangat perkasa sekali, sedangkan di sisi lain, bisa menjadi sangat senyap dan berjalan lamban, bahkan kerapkali perkembangan maupun penerapan sanksinya pelan-pelan hilang seiring dengan waktu.
Jika hal-hal tersebut di atas didiamkan, wibawa KPK sebagai lembaga penegak hukum yang bergerak secara professional dan independen akan hilang.