KOMPAS.com - Pada 18-24 April 1955, Indonesia dihadapkan pada momentum bersejarah yang luar biasa. Sebanyak 29 delegasi dari negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah mengadakan pertemuan internasional.
Sebuah acara yang bernama Konferensi Asia-Afrika (KAA) atau Konferensi Bandung menyita perhatian dunia. Pertemuan yang membahas mengenai kondisi Perang Dingin dan menolak kolonialisasi ini berhasil menghasilkan kesepakatan yakni Dasa Sila Bandung.
Terlepas dari acara yang berlangsung, ada saksi bisu di balik peristiwa bersejarah itu, yakni Gedung Merdeka yang sekarang berada di Jalan Asia-Afrika, Bandung Jawa Barat.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 31 Agutus 1992, sebelum konferensi dimulai, banyak negara lain yang mengusulkan agar persidangan diadakan dalam sebuah tenda.
Pasalnya, mereka tak mengetahui bahwa Indonesia memiliki gedung yang luas untuk penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional. Namun, Bandung telah memiliki banyak gedung yang siap digunakan untuk acara tersebut.
Baca juga: Konferensi Asia-Afrika, Saat Bandung Membuat Takjub Dunia...
Gedung Merdeka yang berdiri megah di sebelah timur alun-alun Bandung kali pertama dibangun pada 1895. Awalnya, tempat itu memiliki dinding papan dan berlantai tanah yang awalnya merupakan warung kopi milik orang China.
Kebiasaan orang Belanda yang suka bersantai dan bersenang-senang memanfaatkan tempat ini. Mereka menggunakan tempat ini untuk berkumpul, minum kopi dan ngobrol sambil menyaksikan atraksi kesenian tonil yang populer saat itu.
Warung ini juga sebagai titik bagi pendatang baru untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat kulit putih di Bandung. Pada waktu itu, Bandung baru dihuni sekitar 30.000 penduduk, 1.250 orang di antaranya keturunan Eropa.
Dilansir dari laman resmi Museum Konperensi Asia-Afrika, asianafricanmuseum.org, Pada 1920-an lokasi tersebut mulai dibangun gedung pertemuan dengan nama "Societeit Concordia".
Bangunan yang mempunyai luas tanah 7.500 meter persegi itu, menjadi tempat pertemuan dengan fasilitas yang megah pada masanya.
Insinyur di balik bangunan ini adalah Van Gallen Last dan CP Wolff Schoemaker, orang Belanda yang menjadi guru besar di Technische Hogeschool, kini Institut Teknologi Bandung (ITB).
Keduanya memberikan kesan mewah dan menyulap bangunan itu dengan hiasan lantai marmer dari Italia. Sedangkan dindingnya dibuat dari beton cor, dan pintunya dari kayu eikenhout yang dijamin kualitasnya.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Konferensi Asia-Afrika Berakhir, Serukan Perdamaian
Kemegahan arsitektural itu masih ditambah lagi dengan keanggunan lampu-lampu kristal yang menghiasi setiap sudut gedung. Kondisi ini membuat petinggi Belanda betah ketika berada dalam gedung.
Tak serta merta orang bisa masuk ke dalam tempat ini. Bagi orang Belanda kelas rendah atau bahkan Bumiputra tak diperbolehkan masuk. Anggota perkumpulan Societeit Concordia sangat terbatas.
Biasanya mereka terdiri dari pimpinan perkebunan, perwira, pembesar, dan pengusaha yang cukup kaya yang boleh masuk ke sana. Orang Bumiputra yang bisa masuk gedung itu dapat dikatakan hanya Kanjeng Bupati dan Dalem Istri.